SELAMAT DATANG

Rabu, 06 Juni 2012

proposal

BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sering disebut sebagai negara agraris, namun dengan luas wilayah keseluruhan berkisar kurang lebih 5.180.053 Km² yang dimana luas daratannya hanya mencakup 25% sedangkan sisanya 75% adalah wilayah lautan, menjadikan negara Indonesia salah satu negara maritim di Dunia. Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki 5 buah pulau besar dan 17.504 pulau kecil, sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni dimana masing–masing pulau dihubungkan degan lautan, tentunya menuntut masyarakatnya untuk dapat mengatasi tantangan alam lautanya. Bagi masyarakat yang ada di pesisir atau kepulauan yang berjiwa maritim diperlukan kepandaiannya dalam mengarungi lautan yang luas dengan melakukan pelayaran ke berbagai daerah lainya, baik untuk berdagang maupun untuk kepentingan lainnya. Masyarakat Indonesia jauh sebelumnya memperjuangkan hak-hak kebebasan untuk mencapai kemerdekaanya dari imprealisme barat, telah mengenal dan menerapkan sistem pelayaran dan perdagangan sebagai salah satu mata pencaharian yang utama. Bangsa Indonesia pada saat itu bukan hanya mampu mengarungi wilayah perairan nusantara, akan tetapi lebih dari itu mereka telah sampai pada jarak-jarak terjauh seperti ke Madagaskar, Srilangka, Birma, Indochina, Tiongkok, Papua Nugini, dan Australia bahkan mereka telah sampai di kepulauan Hawai dan lautan Teduh. Fakta kongkrit yang dapat dijadikan sumber adalah kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit. Kedua kerajaan ini telah menempatkan bidang pelayaran dan perdagangan dalam tradisi perluasan wilayah pemerintahannya. Keadaan geografis suatu daerah sangat berpengaruh terhadap kebudayaan suatu masyarakat di daerah tersebut. Masyarakat yang bermukim di daerah pedalaman, akan mengembangkan budaya agraris. Demikian pula masyarakat yang bermukim di daerah pesisir pantai dan daerah kepulauan, tentunya akan berbudaya kelautan (maritim). Salah satu kelompok masyarakat Indonesia yang secara geografis berada pada jalur pelayaran dan perdagangan adalah masyarakat kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko) yang terletek di wilayah bagian timur Indonesia. Kepulauan ini pada masa lampau bahkan sampai sekarang lebih dikenal dengan sebutan Kepulauan Tukang Besi, yang sejak abad ke-18 hingga sekarang telah mengenal suatu hukum pelayaran dan perdagangan. Kepulauan Wakatobi atau kepulauan Tukang Besi memiliki kondisi tanah pada umumnya kurang subur. Keadaan tersebut tidak menguntungkan bagi kehidupan ekonomi, terutama pada bidang pertanian. Pada sisi lain kepulauan Wakatobi berada pada jalur pelayaran dan perdagangan antara Indonesia bagian barat dengan Indonesia bagian timur. Keadaan tanah yang kritis dengan didukung oleh faktor letak geografis yang strategis, desakan ekonomi maka terjadilah penambahan pola dan sistem mata pencaharian baru yakni pelayaran dan perdagangan. Dengan ditemukannya sistem pelayaran dan perdagangan ini maka mulailah dibuat alat-alat transportasi tradisional dengan jarak tempuh wilayah terdekat. Setelah melalui proses yang cukup lama, kemudian mengalami perkembagan baik alat trasportasi maupun sistem yang dianut sesuai tuntutan zaman. Mereka bukan hanya mampu berlayar dan berdagang dalam wilayah teritorium Indonesia tetapi kadangkala menempuh jarak sampai keluar negeri seperti Malaysia, Singapura, Philipina, Australia bahkan sampai ke kepulauan Palau di Lautan Teduh (Ali Hadara, 1987: 48). Salah satu daerah di kepulauan Wakatobi sejak zaman lampau mengenal dan menggeluti dunia pelayaran adalah masyarakat pulau Binongko. Para pelayar Binongko telah melakukan pelayaran keberbagai daerah di Indonesia bahkan sudah sampai di luar negeri. Sebagai daerah yang di lalui jalur pelayaran dan perdagangan Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur, maka para pelayar Binongko telah diwariskan secara turun-temurun oleh para pelayar pendahulu mereka. Bagi masyarakat pulau Binongko, pelayaran ke seantero Nusantara, Singapura, Malaysia, Deli, Filipina Selatan dianggap sebagai rutinitas biasa. Bahkan mereka ada yang sampai di perairan Australia Utara, Pakistan, dan Kepulauan Palau disebelah timur Filipina dengan hanya menggunakan perahu layar tradisional yang disebut Lambo. Jaringan dan peran serta mereka dalam dunia pelayaran niaga, sejauh yang dapat di lacak, mulai tampak sejak abad terahir masa kurun niaga yang mula-mula dipelopori oleh orang-orang Binongko kemudian disusul oleh pulau-pulau lainnya di Wakatobi (Ali Hadara, 2009: 1). B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang tersebut di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut: a. Apakah faktor-faktor penyebab masyarakat Binongko melakukan pelayaran dan perdagangan? b. Bagaimanakah jaringan-jaringan pelayaran dan perdagangan tradisional masyarakat Binongko? C. Tujuan penelitian Adapun tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab masyarakat Binongko melakukan pelayaran dan perdagangan. b. Untuk mengetahui bagaimanakah jarigan-jaringan pelayaran dan perdagangan tradisional masyarakat Binongko. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut: a. Bagi dunia akademik diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang kelautan dan pelayaran, bahkan dapat dijadikan sebagai bahan pembanding dalam penelitian lebih lanjut bagi dunia pelayaran. b. Sebagai bahan informasi bagi pelayar di Kawasan Timur Indonesia khususnya bagi masyarakat pelayar tentang jalur pelayaran yang akan dilalui. c. Sebagai informasi bagi pemerintah dalam upaya pemberian bimbingan keterampilan bagi pelayar untuk mengubah atau mengembangkan sistem pelayaran kearah yang lebih maju. d. Bagi peneliti kiranya dapat menambah wawasan pengetahuan tentang sejarah kemaritiman. BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Konsep Pelayaran dan Jalur Pelayaran 1. Konsep Pelayaran Membahas tentang pelayaran dari suatu kelompok masyarakat, merupakan hal yang diketahui dan dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat di dunia ini sejak zaman dahulu hingga sekarang. Para ahli telah mengemukakan tentang pengertian dan konsep pelayaran, diantaranya adalah Moeliono, (1989: 505) mengemukakan bahwa pelayaran adalah perjalanan melalui laut atau sesuatu yang menyangkut perihal berlayar, sedangkan pelayaran samudera adalah pelayaran antar suatu negara dengan negara lainya melalui lautan luas yang dilakukan dengan armada kapal. Sedangkan pengertian pelayaran yang tertuang dalam buku Ensiklopedia Indonesian dalam Ali Hadara, (1987: 7) mengartikan pelayaran sebagai berikut: Lalulintas dengan kapal di laut dan di sungai, terbagi atas pelayaran laut, pelayaran pantai artinya lalulintas di laut antar kota-kota di pesisir, pelayaran laut artinya pelayaran lalulintas internasional di laut tetapi disini termasuk pelayaran perahu-perahu antar pulau. Dari dua pendapat di atas dapatlah di ketahui bahwa pelayaran adalah proses bepergian baik itu di sungai, di pesisir pantai maupun yang mengarungi lautan luas dengan menggunakan alat angkutan baik itu berupa perahu maupun kapal besar. Jika dilihat dari sudut pandang kawasan pelayaran, maka pelayaran dapat di bedakan atas pelayaran sungai, pelayaran pantai, pelayaran laut, dan pelayaran samudera. Pada umumya manusia prasejarah menggunakan rakit sebagai alat angkutan dalam berlayar. Dalam perkembangan selanjutnya mereka telah mampu dan sanggup membuat sampan (perahu kecil) pada akhirnya telah mampu menciptakan perahu besar yang kemudian di gunakan untuk mengarungi samudera luas. Berdasarkan uraian di atas maka memberikan isyarat bahwa pelayaran di nusantara, sebagai angkutan laut regional dan sebagai alat tumpangan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Soejono, (1998: 42) mengedintifikasikan pelayaran kedalam beberapa bagian yaitu: 1. Pelayaran Nusantara adalah pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antara pelabuhan Indonesia tanpa memandang jurusan yang di tempuh. 2. Pelayaran lokal yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkuatan antara pelabuhan di Indonesia yang di tunjuk untuk menunjang kegiatan pelayaran nusantara dan pelayaran luar negeri. 3. Pelayaran Rakyat atau Pelayaran Tradisional, pelayaran nusantara dengan menggunakan perahu-perahu layar. 4. Pelayaran Pedalaman, terusan dan sungai yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan diperairan pedalaman, terusan dan sungai. 5. Pelayaran Penundaan laut yaitu pelayaran nusantara dengan menggunakan tongkat-tongkat yang di tarik oleh kapal-kapal tonda. Dengan demikian dilihat dari tujuannya pelayaran dapat di bagi atas pelayaran untuk tujuan perdagangan. Mulya, (1955: 160) telah merumuskan tentang pengertian pelayaran dagang adalah pelayaran untuk mengangkut manusia dan barang terdiri atas pelayaran teratur antara dua pelabuahan atau lebih, dan pelayaran tak teratur, yaitu kapal-kapal yang berlayar kepelabuahan mana saja asal ada muatan baginya. Dengan demikian pelayaran dan perdagangan dapat disimpulkan bahwa sebagai suatu kegiatan mengangkut barang dan penumpang atau manusia dari suatu tempat ketempat lainya dengan maksud memperoleh keuntungan atau laba dari hasil jual beli barang dan jasa yang telah dilakukannya. Kegiatan yang dilakukan itu tentu menggunakan alat bantu angkut berupa perahu maupun kapal dengan melewati lautan dari suatu tempat ketempat lainya. 2. Jalur pelayaran Dalam kamus bahasa Indonesia mengartikan “jalur” sebagai “bagian jalan yang diperuntungkan bagi kendaraan yang di kemudikan dengan kecepatan tinggi atau kecepatan rendah, jalur di udara yang boleh dilalui oleh pesawat terbang”. (Lukman, 1995: 397). Dari pengertian di atas, dapat dikatakan jalur dalam pengertian ini adalah jalan diperuntukan atau yang boleh dilalui oleh kendaraan-kendaraan baik kendaraan di udara, di darat dan tidak tertutup kemungkinan untuk kendaraan di lautan. Dalam pembahasan ini akan membicarakan tentang jalur atau jalan yang berada di laut sebagai tempat berlayarnya perahu-perahu atau kapal-kapal laut. Jika jalur ini dihubungkan dengan pelayaran, kita akan berbicara tentang jalur pelayaran, yang dilalui oleh masyarakat pelayaran dalam mengarungi samudera luas. Indonesia sejak dahulu telah dilalui oleh jalur pelayaran dunia. Hal ini dapat diketahui dari adanya hubungan dagang antara India dan Cina yang melalui perairan Indonesia menyebabkan Indonesia turut ambil bagian dalam hubungan dagang antara India dan Cina tersebut. Sedangkan mengenai jalur pelayaran yang dilalui oleh pelayar Indonesia dalam wilayah nusantara pada zaman dahulu dapat di lihat pada apa yang dikemukakan oleh Pigeaud dalam Susanto Zuhdi, (1994: 1) menyatakan bahwa Selain Makassar menempati posisi jalur utama pelayaran, nama Buton biasanya disebut juga sebagai tempat persinggahan perahu-perahu dari bagian barat ke bagian timur nusantara. Sedangkan oleh Negarakartagama, (1365) menyebutkan bahwa Butun (Buton), dalam suatu rangkaian dengan Makassar dan Banggawi (Bangga), kemudian Kunir, Galiyao, Selayar Solor, Seram dan Pulau-Pulau lainnya dibagian timur sebagai daerah yang di hubungkan dengan Majapahit. Untuk perairan Sulawesi Tenggara sebelum kedatangan VOC sudah dikenal dan terdapat tiga jalur pelayaran kebagian timur melalui Buton seperti dikemukakan oleh Burhanuddin, (1978: 50) yakni: 1. Jalur Makassar, Selat Tiworo, Wawonii, Bungku (Tobungku), Banggai, Ternate dengan kemungkinan singgah di Selayar, Sinjai, Kabaena, Poleang, Rumbia, Tinanggea Moramo, dan Kendari. 2. Jalur Makassar, Bau-bau, Lohia (Wuna), Wawonii, seterusnya Bungku Banggai dan Ternate. 3. Jalur Makassar, Bau-Bau, Wakatobi (Kepulauan Tukang Besi), Buru, Ambon, Banda. Dengan demikian daerah Buton khususnya diwilayah kepulauan Wakatobi yang praktis pada jalur pelayaran dan perdagangan antar Indonesia bagian timur sejak zaman lampau, memungkinkan penduduknya memfokuskan perhatiannya pada bidang pelayaran dan perdagangan antar pulau baik antara wilayah nusantara maupun sampai melewati batas negara lain. B. Konsep Kelautan dan Negara Kepulauan Keadaan geografis suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Masyarakat yang mendiami daerah pedalaman akan mengembangkan kehidupan yang bersifat agraris, sedangkan masyarakat yang bermukim di daerah pesisir pantai tentunya akan mengembangkan kehidupan yang bercorak maritim. Dalam sejarah kehidupan umat manusia di dunia ini telah tercatat bahwa masyarakat maritim pada umumnya akan mengalami kemajuan yang lebih cepat dibandingkan dengan mayarakat agraris. Berkaitan dengan hal yang tersebut di atas, maka pada abad ke-16 Sir Walter Releigh mengemukakan pendapatnya sebagai mana yang dikutip oleh Wasono Hadi dan Anwar, (1989: 7) bahwa “siapa yang menguasai lautan , dialah yang menguasai dunia itu sendiri”. Dasar pemikiran di atas nyatalah bahwa penguasan terhadap wilayah perairan (Lautan) oleh suatau negara sangat besar pengaruhnya terhadap perkembaagan perekonomian masyarakat suatu bangsa atau negara. Dengan demikian letak geografis suatu wilayah terhadap penguasaan perekonomian melalui jalur pelayaran yang dilakukan melalui jalur pelayaran melalui lautan atau samudera sangat menentukan perkembangan perekonomian suatu negara. Dari contoh yang dikemukakan di atas jelaslah kepada kita bahwa bangsa Portugis dengan Spanyol pada abad ke-15 karena menguasai lautan, mereka dapat menguasai dunia dengan melakukan pelayaran-pelayaran dengan mengelilingi dunia dan melakukan perdagangan bahkan dapat menanamkan pengaruh Imprealismenya di wilayah-wilayah yang pernah di laluinya, demikian juga bangsa Belanda pada abad ke-17 dapat menanamkan pengaruh imprealismenya di negara kita dan daerah–daerah lainnya di dunia ini karena mereka menguasai lautan. Untuk membatasi gerak langkah suatu bangsa atau negara di suatu perairan laut di negara lain dalam bidang pelayaran laut nusantara misalnya yang memuat seperangkat ketentuan dan asas-asasnya yang mengatur hubungan dan kepentingan mengenai laut yang bersifat publik atau umum seperti dikemukakaan oleh Danusaputra dan Asrarudin, (1998: 18) menyatakan bahwa hukum laut nusantara publik adalah seperangkat ketentuan-ketentuan hukum dan asas-asasnya yang mengatur hubungan dan kepentingan mengenai laut yang bersifat publik atau umum. C. Jiwa Bahari Masyarakat Buton Nenek moyang bangsa Indonesia telah dikenal sebagai pelaut-pelaut ulung yang dengan gagah berani dan pantang menyerah telah mengarungi samudera luas. Hal ini selalu kita dengar dalam syair sebuah lagu yaitu “nenek moyangku seorang pelaut”. Tradisi pelayaran ini telah diwariskan kepada masyarakat Indonesia sekarang ini. Para penulis asing telah mengakui jiwa dan semangat bahari bangsa Indonesia sebelum datangnya bangsa barat ke Indonesia .Vant soet dalam bukunya “Cultur stelsel” (1896)’mengatakan bahwa “mereka adalah pedagang-pedagang yang giat dan penuh keuletan, setia dan berjiwa kepahlawanan, rajin, berani, dan sebagainya“ (Kansil, 1991: 4), sementara Rafles dalam bukunya History of Java, (1896) menyebut bangsa Indonesia sebagai pelaut-pelaut yang terlatih dan berpengalaman “(Kansil 1991: 4). Demikian pula dengan semangat dan jiwa bahari masyarakat Buton dapat diketahui dari naskah klasik karya A. Ligt Voet, (1878) yang dikutip oleh Rahman (1999: 7) dikatakan bahwa mengenai perkembangan sejarah Buton hingga tahun 1878 dikatakan bahwa penduduk pulau Buton lebih banyak menyandarkan diri pada pelayaran dan perdagangan sebagai sumber kehidupan. Juga dikatakan bahwa penduduk pulau Binongko telah lama dikenal sebagai pembuat perahu yang ulung, dibagian barat Indonesia orang Buton berlayar hingga ke Singapura dan memperdagangkan berbagai komoditas rempah- rempah dan hasil laut. Sedangkan Howard Dick, (1975,1985,1987) yang dikutip oleh Rahman, (1999: 7) mengatakan bahwa orang Buton berlayar sesuai dengan pergantian angin musim antara Jawa, Sulawesi, Maluku, dan sebagainya. Dari Maluku mereka membawa barang-barang dagangan seperti: kopra-kopra ke Jawa dan dari Jawa mereka membawa barang–barang manufaktur untuk dijual ke Maluku dan begitu seterusnya. Dengan demikian sejak dahulukala nenek moyang bengsa Indonesia umumnya dan Buton khususnya telah melakukan aktivitas pelayaran. Oleh karena itu jika sekarang banyak yang menjadi pelayar-pelayar yang sering melakukan penjelajahan samudera, tidaklah mengherankan karena hal ini merupakan warisan yang diturunkan dari nenek moyang mereka. D. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu mengenai pelayaran orang-orang Binongko belum begitu banyak di ungkap. Berikut ini adalah penelitian-peneltian tentang pelayaran yang di lakukan di Wakatobi. Munasir (2009) dalam bentuk skripsi dengan judul “ Pelayar-Pelayar Kaledupa Dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1949). Pada dasarnya di dalam memberikan uraian pembahasanya mengenai pelayaran-pelayaran orang kaledupa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia serta usaha-usaha para pelayar-pelayar kaledupa dalam melawan penjajah seperti Belanda dan Jepang. Segi kelemahan pembahasan skirpsi laporan penelitian sebelumnya, hanya mencakup wilayah kaledupa saja, namun secara tidak langsung akan berkaitan dengan penelitian yang saya akan lakukan. Marfiati (2000) dalam bentuk skripsi dengan judul “Menelusuri Jalur-Jalur Pelayaran Orang Tomia Abad XX”. Pada pembahasan isi dalam skripsinya yaitu menjelaskan tentang jalur-jalur pelayaran orang tomia pada abad XX. Namun sama halnya dengan penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini juga hanya di lakukan di pulau tomia, namun secara tidak langsung akan berkaitan dengan penelitian yang akan saya lakukan. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal, 12 bulan Mei 2012 sampai tanggal 26 bulan Mei 2012. Tempat penelitiannya akan di lakukan di Pulau Binongko khususnya di Kelurahan Rukuwa Kecamatan Binongko Kabupaten Wakatobi. B. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah Deskriptif Kualitatif yakni penulis memberikan gambaran dengan jelas tentang faktor-faktor penyebab masyarakat Binongko melakukan pelayaran dan perdagangan serta jaringan-jaringam pelayaran dan perdagangannya. C. Subjek Penelitian D. Sumber Data Penelitian Upaya menemukan sumber-sumber bagi penelitian sejarah akan mendapat kesulitan jika tidak mengadakan klasifikasi atau penggoloangan terhadap sekian banyaknya macam sumber. Untuk mendukung kegiatan ini maka peneliti berpedoman pada Nugroho Notosusanto (1978: 36) dengan mengajukan tiga kategori sumber yakni; sumber lisan, sumber tertulis, dan sumber visual dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Sumber lisan, yaitu data yang diperoleh melalui keterangan lisan (wawancara) dengan narasumber. Narasumber yang diwawancara adalah mereka yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mengenai sejarah pelayaran dan perdagangan tradisional masyarakat Binongko. 2. Sumber Tertulis, yaitu data yang diperoleh berupa buku-buku, Skripsi, artikel serta sumber-sumber tertulis lainya yang ada hubungannya dengan penelitian ini. 3. Sumber Visual, yaitu data yang diperoleh melalui hasil pengamatan letak dengan posisi kondisi fisik serta karakteristik masyarakat Binongko. E. Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah sesuai dengan yang ditulis oleh Helius Sjamsuddin (2007: 17), yaitu : (1) Heuristik (pengumpulan sumber), (2) Kritik, (3) Historiografi. Pada tahap ini kegiatan pengumpulan data akan di lakukan dengan cara: 1. Studi Dokumen yaitu, pengumpulan data yang diperoleh dari Pas Jalan Perahu sebagai sumber primer. Untuk lebih memperkuat kejelasan sumber primer, maka tetap diperlukan dokumen-dokumen tertulis lain selama ada kaitannya dengan masalah dalam penelitian ini. Pas Jalan Perahu diperoleh dari instansi terkait seperti Kantor Kepala Desa dan Lurah serta Kantor Syahbandar. 2. Wawancara yaitu, pengumpulan data dengan cara mengadakan tanya jawab langsung dengan narasumber yang dianggap banyak mengetahui tentang jarigan pelayaran dan perdagangan masyarakat Binongko. 3. Penelitian kepustakaan yaitu, mengumpulkan data-data yang dapat menunjang penelitian ini berupa buku, skripsi, makalah, artikel dan laporan hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan penelitian ini. 4. Pengamatan yaitu, melakukan pengamatan secara langsung terhadap masyarakat Binongko khususnya di kelurahan Rukuwa. F. Pengujian (Verifikasi) Data Dalam tahap ini penulis berusaha menilai satu persatu data yang diperoleh, khususnya yang masih diragukan agar diperoleh data yang lebih akurat untuk digunakan dalam penyusunan prosposal ini. Menurut Helius Sjamsuddin, (2007: 131-143), ada dua cara untuk menguji otentitas dan kredibilitas suatu data yaitu: 1. Kritik Eksteren (kritik luar), yaitu kritik yang dilakukan untuk mengetahui apakah sumber tersebut asli atau turunan. Dalam hal ini dilakukan analisis terhadap keotentikan suatu sumber (keaslian) dengan jalan menyelidiki sifat – sifat luarnya. 2. Kritik Interen (kritik dalam), yaitu lanjutan dari kritik eksteren, yang bertujuan untuk memberikan kritik terhadap kredibilitas (kebenaran) dari isi sumber tertulis dibandingkan dengan sumber tertulis lainya. G. Historiografi (Penulisan Sejarah) Menurut Helius Sjamsuddin, (2007: 1557-236), tahap-tahap penulisan historiografi mencakup antara lain: a. Penafsiran (Interpretasi) Sumber-sumber yang diperoleh tentang pelayaran dan perdagangan masyarakat Binongko yang telah dikritik dihubungkan satu sama lain sehingga didapatkan suatu sumber sejarah yang dapat dipercaya kebenarannya secara ilmiah. Interpretasi (penafsiran sumber) adalah penting untuk memberikan arti dan makna bagi aspek yang terkandung dalam data itu agar diperoleh kesimpulan akhir yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. b. Penjelasan (Eksplanasi) Setelah melakukan penafsiran, maka tahap berikutnya adalah penjelasan (eksplanasi). Dimana pada tahap ini peneliti harus dapat menjelaskan pelayaran dan perdagangan masyarakat Binongko baik latar belakangnya, korologisnya serta faktor-faktor pendukung dan penghambatnya. c. Penyajian (Ekspose) Setelah melakukan penjelasan, maka tahap terakhir yaitu penyajian (ekspose). Pada tahap ini peneliti menyajikan hasil penelitian dari pelayaran dan perdagangan masyarakat Binongko.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar