SELAMAT DATANG

Rabu, 01 Agustus 2012

ANAKES PADA KORAN



A.Pembuka
Surat kabar merupakan salah satu media massa yangmenggunakan bahasa tulisan sebagai alat utamanya. Peranan surat kabar dalam pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesiasangatlah besar. Bahkan pembentukan dan pemakaian istilah baru serta pemasyarakatannya sering kali banyak dipengaruhi juga oleh surat kabar. Andaikan semua media massa surat kabar menggunakanBahasa Indonesia baku yaitu bahasa jurnalistik yang memenuhi kaidah Bahasa Indonesia terutama ragam tulis menjadi kenyataan, niscayamedia akan berperan sebagai guru bahasa.
Media massa cetak merupakan sumber informasi yang disajikankepada masyarakat dalam bentuk teks. Menurut Tholson (2006 : 9), terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan dalam membuat tekstersebut, diantaranya : interactivity, performativity,danliveliness. (1) Interactivityberarti penulis teks dituntut untuk memilih kata yangsesuai sehingga terjalin hubungan antara penulis dan pembaca dalam rangka penyempaian makna. (2) Performativity berarti penulisan teks harus memperhatikan penampilan bahasa yang disampaikan, sehingga menarik orang yang membacanya. (3) Liveliness berarti pilihan kata harus dapat menghidupkan suasana yang ditandai adanya respon dari pembaca. Tentunya menyajikan berita dalam bentuk teks memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi dari pada melalui media elektronik. Penulis harus benar-benar lihai dalam memilih kata yang ekspresif, sehingga apa yang disampaikan benar-benar dapat diterima sepenuhnya.Media massa cetak mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai lembaga yang dapat mempengaruhi publik. Ini memungkinkan media massa cetak memiliki kepribadian ganda. Pertama, memberikan dampak positif kepada publik. Kedua,memberikan dampak negatif. Bahkan, media yang memiliki peranansebagai alat untuk menyampaikan informasi dipandang sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses perubahan sosial-budaya dan politik.
Namun, dewasa ini muncul kecenderungan dari media surat kabar untuk bersikap negatif terhadap Bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dari aktivitas kebahasaan yang ada. Mereka seakan lebihbangga menggunakan bahasa asing daripada menggunakan Bahasa Indonesia walaupun sebenarnya situasi dan kondisi saat itu tidakmemungkinkan. Apabila bahasa yang dipergunakan dalam surat kabartersebut dikritik dan disalahkan, mereka berkilah bahwa gaya bahasa jurnalistik berbeda dengan kaidah Bahasa Indonesia, walaupun sebenarnya gaya bahasa jurnalistik dalam penggunaan Bahasa Indonesia sangat berbeda konteks. Akibatnya peran surat kabarsebagai salah satu guru Bahasa Indonesia yang baik dan benar bagimasyarakat menjadi sulit terwujud, karena kesalahan-kesalahan yang seharusnya tidak boleh terjadi justru dia komodir pada sejumlah tulisan yang termuat di dalam surat kabar. Berpijak dari pemikiran tersebut, untuk mengetahui ragam bentuk kesalahan pemakaian Bahasa Indonesia yang sering kali terjadi di media surat kabar, maka saya akan menyusun sebuah makalah yang berjudul : Analisa Kesalahan Pemakaian Bahasa Indonesia Pada Media Massa Surat Kabar, dengan objek penelitian adalah surat kabar nasional, yaitu Harian Kompas. Penulisan ini diharapkan dapat menjadi sebuah referensi yang bermanfaat bagi segenap pihak yang membutuhkannya.
Dalam buku Common Error in Language Learning, H.V. George mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun programdan guru pengajaran bahasa. Bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan adalah bentuk-bentuk tuturan yang menyimpang dari kaidah bahasa baku.S. Piet Corder dalam buku Introducing Applied Linguistics mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa adalah pelanggaran terhadap kode berbahasa. Pelanggaran ini bukan hanya bersifat fisik, melainkan juga merupakan tanda kurangsempurnanya pengetahuan dan penguasaan terhadap kode. Merujuk pada pemikiran-pemikiran tentang pengertian kesalahan berbahasa di atas, maka dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kesalahan berbahasa Indonesia adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan berbagai unit kebahasaan yang meliputi kata, kalimat,paragraph, yang menyimpang dari sistem kaidah Bahasa Indonesia baku.
Masalah pada makalah ini adalah Bagaimanakah bentuk-bentuk kesalahan penggunaan BahasaIndonesia yang seringkali terjadi pada media massa surat kabar? Dengan tujuan penulisan untuk mengetahui bentuk-bentuk kesalahan penggunaan BahasaIndonesia yang seringkali terjadi pada media massa surat kabar. Dengan menitik beratkan pada pilihan kata (diksi) dan penggunaan istilah Asing. Serta manfaat penulisan Pembaca dan masyarakat dapat mengetahui bentuk-bentuk kesalahan penggunaan Bahasa Indonesia yang sering kali terjadi pada media massa surat kabar.
Metode pada anlisis media massa ini yakni mengugunakan metode  penelitian   deskriptif. metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang tertuju pada suatu pemecahan masalah yangada pada masa sekarang (Surakmad 1994 : 139). Dan Teknik penelitian yang digunakan yaitu :
a.       Teknik pustaka, teknik ini dilandaskan untuk mempelajari beberapa acuan kepustakaan yang relevan dengan tujuan penelitian.
b.      Teknik analisis isi, penggunaan teknik ini berdasar pada teori-teori linguistik yang relevan sehingga diharapkan analisis kesalahan ejaan dan pemakaian kata perangkai dalam artikel dapat diperbaiki.

B. Pembahasan
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa surat kabar merupakan satu sarana informasi yang mempunyai pengaruh besarbagi masyarakat. Sebagai sarana informasi, surat kabar menggunakan ragam bahasa tulis.
Dibandingkan dengan ragam bahasa lisan, pemakaianragam bahasa tulis harus lebih cermat. Kecermatan yang dimaksud meliputi : kaidah tata tulis atau ejaan, kaidah pemilihan kata atau diksi, dan kaidah struktur kalimat. Walaupun diakui bahwa ragam bahasa tulis pada surat kabar memiliki sifat yang khas, yaitu singkat; padat ; sederhana; lancar; jelas; dan menarik, namun demikian harus pula mengindahkan kaidah gramatikal Bahasa Indonesia. Sebagai salah satu media cetak yang paling produktif menggunakan ragam bahasa tulis, sasaran informasi yang disampaikan melalui surat kabar adalah pembaca dari seluruh lapisan masyarakat.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan pemakaian Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik dalam arti sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaiannya, sedangkan benar dalam arti sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia yangberlaku. Instruksi untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baik danbenar pada media massa telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagukebangsaan. Secara tegas dinyatakan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi di media massa, sebagaimana tertuang didalam ketentuan pasal 25 ayat (3) dan pasal 39 ayat (1) berikut asal 25 Ayat (3) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasaresmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan danpemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Pasal 39 Ayat (1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui
media massa .Namun demikian adanya Undang-Undang tersebut masih belumcukup signifikan untuk meredam kebebasan dan keterbukaan sebagaigaung dari proses reformasi yang telah berjalan sejak tahun 1998 lalu. Konsep keterbukaan dan kebebasan pers yang bertanggungj awab dalam perjalanannya lebih terkesan berkembang pada kebebasannya saja. Akibatnya kemurnian penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam setiap informasi pada media masa, khususnya surat kabar menjadisulit terwujud.Berdasarkan hasil analisa / studi pengamatan Kami pada dua surat kabar terkemuka nasional, yaitu harian Kompas setidaknya terdapat tiga kesalahan utama pemakaian Bahasa Indonesia pada sejumlah tulisan dalam surat kabar tersebut, yaitu: (1) Kesalahan penggunaan pemilihan kata (diksi). (2) Penggunaan istilah asing tanpa memperhatikan kaidah penggunaan dan penyerapan unsur asing dalam aturan BahasaIndonesia, dan(3) Mengutip perkataan narasumber secara imitatif, tanpa diolah terlebih dahulu.
1. Kesalahan Penggunaan Pemilihan Kata (Diksi).
Kesalahan yang terjadi adalah, pemilihan kata yang digunakan meski terdengar kurang etis, namun dipaksakan muncul sebagai bumbu untuk membuat tulisan menjadi lebih menarik dibaca. Contoh komisi Pengganyangan korupsi (Harian Kompas 15Maret2010).
Kata yang dicetak tebal (pengganyangan) terkesan kurang etis, meskipun kata ganyang masuk dalam kosa kata Bahasa Indonesia baku, namun lebih berasosiasi pada hal yang sifatnya kasar atau tidaksopan. Mungkin yang menjadi pertimbangan oleh penulisnya karena korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang bersifat luar biasa, oleh karena itu untuk memberikan suatu penekanan bahwa korupsi harus benar-benar diberantas maka dimunculkanlah kata ganyang. Namun, menurut pendapat Kami kata pengganyangan sebaiknya tidak perlu muncul,mungkin lebih baik jika tetap digunakan kata pemberantasan. Hal ini tentunya perlu dijadikan pertimbangan, mengingat pembaca surat kabar tidak hanya berasal dari kalangan dewasa saja, namun terbuka bagi semua usia. Akan sangat menyedihkan tentunya apabila kemudian anak-anak sekolah menjadi familiar untuk mengucapkan kata ganyang dalam pergaulan mereka sehari-hari.
2. Penggunaan Istilah Asing
Tanpa memperhatikan kaidah penggunaan dan penyerapan unsur Asing dalam aturan Bahasa Indonesia Istilah asing banyak digunakan tanpa memperhatikan kaidah penggunaan dan penyerapan unsur asing yang diatur dalam gramatikal Bahasa Indonesia. Contoh erform, budget, website, fair(Harian Kompas, 15 Maret 2010)Minister, outside, stateless, forward looking, money politic,voting. (Kompas,11Mei2010).
Penggunaan istilah asing dengan mengadopsi secara langsung hanya diperbolehkan jika istilah tersebut memang sama sekali belum ada padanan katanya dalam Bahasa Indonesia. Adapun adopsi kata secara tidak langsung dilakukan dengan memperhatikan kaidah penyerapan unsur asing yang diatur dalam gramatikal Bahasa Indonesia. Istilah-istilah seperti perform, budget, website, fair, minister, outside,stateless, forward looking, money politic, dan voting telah memiliki padanan kata dalam Bahasa Indonesia yaitu secara berturut-turut adalah : melakukan, anggaran, situs, adil, menteri, sisiluar, tak berkewarganegaraan, melihat ke depan, politik uang, dan pemungutan suara. Penulisan istilah-istilah asing dalam bentuk aslinya tersebut biasanya lebih ditujukan untuk menampilkan efek agar suatu tulisandianggap berbobot atau intelek, menarik untuk dibaca, dan dianggapmenjual.3.
Mengutip Perkataan Narasumber Secara Imitatif, Tanpa Diolah Terlebih Dahulu Hal yang mendasari timbulnya kesalahan ini adalah kembali pada jiwaseorang jurnalis yang selalu tidak ingin kehilangan sedikitpun detailinformasi yang ia peroleh dari narasumbernya. Oleh karena itu,biasanya apa yang dikatakan oleh narasumber tanpa dipahami maknabahasanya langsung dikutip secara apa adanya. Namun, hal inimenjadi suatu masalah ketika pengutipan secara langsung ini justrumengakibatkan terjadi kesalahan bahasa pada media surat kabar.

Contoh
“Untuk menarik minat investor, kata Hidayat, Indonesia sangat membutuhkan dukungan energy dan listrik.Jangan sampai bAyar pet
,yang merintangi industri, katanya (Harian Kompas, 15 Maret 2010). Tidak ada politik transaksional, tak ada deal-deal , apapun, apalagi terkait mundurnya Sri Mulyani (Menteri Keuangan), katanya (Kompas, 11 Mei 2010)”.
Istilah byar pet ataupun deal-deal (keduanya dicetak tebal), tentunya sama sekali tidak dikenal dalam Bahasa Indonesia yang resmi,sebagaimana termuat dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Namun kedua istilah tersebut menjadi lazim dipergunakan mengingat seringkali muncul dalam bahasa lisan yang kemudian terbawa dalampemberitaan surat kabar. Istilah byar pet sendiri sebenarnya berasal dari Bahasa Jawa yang digunakan untuk menggambarkan kondisi redup atau kondisi menyala dan matinya cahaya (lampu) yang salingbergantian terjadi secara frekuentif. Sedangkan deal-deal sendiri merupakan parodi (plesetan) yang merujuk kepada arti kesepakatan-kesepakatan. Memperhatikan ketiga kesalahan di atas, jelas nampak bahwa munculnya kesalahan-kesalahan pemakaian Bahasa Indonesia dalam media surat kabar bukanlah sesuatu yang bersifat tidak disengaja. Pihak media bukannya tidak mengerti aturan atau tata cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar, namun hal ini semata-mata dilakukan sebagai sarana untuk menciptakan daya tarik tulisan, sehingga terdapat motivasi yang kuat bagi pembaca untuk membacanya hingga tuntas. Namun, tentunya hal ini jika tidak ditangani lebih lanjut maka akan merusak tatanan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, mengingat kesalahan-kesalahan tersebut lama-kelamaan akan menjadi sesuatu yangdapat diterima dan akhirnya dianggap sebagai hal yang biasa oleh masyarakat.

C. Penutup
Berdasarkan hasil analisa / studi pengamatan pada dua surat kabarterkemuka nasional, yaitu harian Kompas setidaknya terdapat tiga kesalahan utama pemakaian Bahasa Indonesia padasejumlah tulisan dalam surat kabar, yaitu :
(1)Kesalahan penggunaan pemilihan kata (diksi), (2) Penggunaan istilah asing tanpa memperhatikan kaidah penggunaan dan penyerapan unsur asing dalam aturan BahasaIndonesia. Kemunculan kesalahan-kesalahan pemakaian Bahasa Indonesia dalam media surat kabar bukanlah sesuatu yang bersifat tidak disengaja.Pihak media bukannya tidak mengerti aturan atau tata cara berbahasaIndonesia yang baik dan benar, namun hal ini semata-mata dilakukansebagai sarana untuk menciptakan daya tarik tulisan, sehinggaterdapat motivasi yang kuat bagi pembaca untuk membacanya hingga tuntas.
Adanya kesalahan-kesalahan pemakaian Bahasa Indonesia dalam media surat kabar harus ditindaklanjuti untuk segera dilakukan pembenahan. Penanganan yang setengah-setengah atau tidak secara tuntas akan berakibat pada semakin rusaknya tatanan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, mengingat kesalahan-kesalahan tersebut lama-kelamaan akan menjadi sesuatu yang dapat diterima dan akhirnya dianggap sebagai hal yang biasa oleh masyarakat. Oleh karena itu harus ada kontrol yang kuat dari pemerintah, lembaga pers, maupun masyarakat sehingga upaya untuk mewujudkan peran surat kabar sebagai salah satu guru Bahasa Indonesia yang baik dan benar bagi masyarakat akan dapat terwujud.



DAFTAR PUSTAKA
Broto A. S. 1978. Pengajaran Bahasa Indonesia. Bulan Bintang.Jakarta.Tasai, S. Amran dan E. Zaenal Arifin. 2000. Cermat Berbahasa Indonesia : Untuk Perguruan       Tinggi. AkademikaPrescindo. Jakarta.


















ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA

(Analisis kesalahan Diksi dan Penggunaan Istilah Asing  pada Koran Harian Kompas)

 

 



Oleh :

WAHAR NINA
A1D3 09163


JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012

Makalah etika , moral dan ahlak

Kamis, 16 Desember 2010
MAKALAH ETIKA, MORAL DAN AKHLAK

BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebehagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menetukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.

BAB II
PEMBAHASAN

Dalam berbagai literature tentang ilmu akhlak islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagia, yaitu; akhlak yang baik (akhlak al-karimah), dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang buruk.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk pada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja'ah (perwira/ksatria) dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Hukum-hukum akhlak ialah hokum-hukum yang bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau keutamaan-keutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf.
a.      Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik (peristilahan).
Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah (perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan, kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).
Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut diatas tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak, tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq, yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang sudah demikian adanya.
Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima cirri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian.
Ciri Perbuatan Akhlak:
1)      Tertanam kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2)      Dilakukan dengan mudah tanpa pemikiran.
3)      Timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4)      Dilakukan dengan sungguh-sungguh.
5)      Dilakukan dengan ikhlas.

Pembentukan Akhlak
Pandangan tentang eksistensi akhlak
-         Terdapat dua aliran tentang akhlak manusia, apakah akhlak itu dibentuk atau bawaan sejak lahir.
1)      Akhlak adalah insting (garizah) yang dibawa manusia sejak lahir. Jadi akhlak adalah pembawaan manusia, yaitu kecenderungan kepada fitrah yang ada pada dirinya. Akhlak tumbuh dengan sendirinya tanpa dibentuk atau diusahakan (gairu muktasabah).
2)      Akhlak adalah hasil pendidikan, latihan atau pembinaan yang sungguh-sungguh. Akhlak adalah hasil usaha (muktasabah).

Metode Pembentukan Akhlak
1)      Dalam Islam pembentukan akhlak dilakukan secara integrated, melalui rukun iman dan rukun Islam. Ibadah dalam Islam menjadi sarana pembinaan akhlak.
2)      Cara lain adalah melalui: pembiasaan, keteladanan, dan instropeksi.

Faktor Yang Mempengaruhi Pembinaan Akhlak
1)      Aliran Nativisme: potensi batin dangat dominant dalam pembinaan akhlak. Potensi tersebut adalah pembawaan yang berupa kecenderungan, bakat, minat, akal, dan lain-ain.
2)      Aliran Empiris: lingkungan social, termasuk pendidikan merupakan factor penting dalam pembinaan akhlak.
3)      Aliran Konvergensi: pembinaan akhlak dipengaruhi oleh factor internal (pembawaan) dan factor eksternal (lingkungan).
4)      Islam: sesuai dengan aliran konvergensi (QS. An-Nahl: 78, dan hadis Nabi: kullu mauludin…).
Petunjuk Pembinaan Akhlak dalam Islam:
a)      Memilih pasangan hidup yang beragama
b)      Banyak beribadah saat hamil
c)      Mengazani saat kelahiran
d)      Memberi makanan yang halal dan bergizi
e)      Mencukur rambut dan khitan sebagai tanda kesucian
f)        Aqiqah, isyarat menerima kehadiran sang anak
g)      Memberi nama yang baik
h)      Mengajari membaca Al-qur’an
i)        Mengajari salat sejak umur tujuh tahun.

b.      Etika
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.
Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Dengan cirri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.

c.       Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adapt kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.
Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.
Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.
Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.
Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat.
Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat.
Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
Kesadaran moral erta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang bermoral. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat, sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang yang berada dalam situasi yang sejenis. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.
Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan atau paksaan dari luar.
d.      Susila
1)      Berasal dari bahasa Sanskerta, Su: artinya baik, dan susila: artinya prinsip, dasar, atau aturan.
2)      Susila atau kesusilaan diartikan sebagai aturan hidup yang lebih baik, sopan, dan beradab.
3)      Kesusilaan merupakan upaya membimbing, memasyarakatkan hidup yang sesuai dengan norma/nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

e.      Persamaan Etika, Moral, Dan Akhlak
1)      Persamaan ketiganya terletak pada fungsi dan peran, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan manusia untuk ditetapkan baik atau buruk.
2)      Secara rinci persamaan tersebut terdapat dalam tiga hal:
o       Objek: yaitu perbuatan manusia
o       Ukuran: yaitu baik dan buruk
o       Tujuan: membentuk kepribadian manusia

Perbedaan
1)      Sumber atau acuan:
- Etika sumber acuannya adalah akal
- Moral sumbernya norma atau adapt istiadat
- Akhlak bersumber dari wahyu

2)      Sifat Pemikiran:
- Etika bersifat filososfis
- Moral bersifat empiris
- Akhlak merupakan perpaduan antara wahyu dan akal

3)      Proses munculnya perbuatan:
- Etika muncul ketika ad aide
- Moral muncul karena pertimbangan suasana
- Akhlak muncul secara spontan atau tanpa pertimbangan.

f.        Karakteristik dalam ajaran Islam
Secara sederhana akhlak Islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan social yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.
Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai bersifat local dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu. Namun demikian, perlu dipertegas disini, bahwa akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika atau moral, walaupun etika dan moral itu diperlukan dalam rangka menjabarkan akhlak yang berdasarkan agama (akhlak Islami). Hal yang demikian disebabkan karena etika terbatas pada sopan santun antara sesame manusia saja, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Jadi ketika etika digunakan untuk menjabarkan akhlak Islami, itu tidak berarti akhlak Islami dapat dijabarkan sepenuhnya oleh etika atau moral.
Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah (agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda yang tak bernyawa).


BAB III
PENUTUP

Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hokum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah.
Perbedaaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadis.
Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan.
Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia. Sementara akhlak berasal dari wahyu, yakni ketentuan yang berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan Hadis. Dengan kata lain jika etika, moral dan susila berasal dari manusia sedangkan akhlak berasal dari Tuhan.
Daftar Pustaka

1)      Achmad, Mudlor. Tt. Etika dalam Islam. Al-Ikhlas. Surabaya.
2)      Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. 2003. Mengenal Etika dan Akhlak Islam. Lentera. Jakarta.
3)      Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Aangkasa. Bandung.
4)      Halim, Ridwan. 1987. Hukum Adat dalam Tanya Jawab. Ghalia Indonesia. Jakarta.
5)      Ilyas, Yunahar. 1999. Kuliah Akhlak. Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam. Yogyakarta.
6)      Kusumamihardja, Supan dkk. 1978. Studia Islamica. Pt Giri Mukti Pasaka. Jakarta.
7)      Masyhur, Kahar. 1986. Meninjau berbagai Ajaran; Budipekerti/Etika dengan Ajaran Islam. Kalam Mulia. Jakarta.
8)      Mustofa, Ahmad. 1999. Ilmu Budaya Dasar. CV Pustaka Setia. Bandung.
9)      Nata, Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
10)  Rifa'i, Mohammad. 1987. 300 Hadits Bekal Dakwah dan Pembina Pribadi Muslim. Wicaksana. Semarang.
11)  Salam, Zarkasji Abdul. 1994. Pengantar Ilmu Fiqh Ushul Fiqh. Lembaga Studi Filsafat Islam. Yogyakarta.

Kamis, 14 Juni 2012

MORFOLOGIS BAHASA BUGIS


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa pada hakikatnya adalah bunyi. Dalam menggunakan bahasa, bunyi yang diucapkan berhubungan dengan arti tertentu. Seseorang yang menguasai bahasa tertentu dapat mengenal bunyi-bunyi itu dirangkaikan, sehingga merupakan ujaran yang bermakna. Demikian juga seorang penelaah/peneliti bahasa yang akan mendapatkan deskripsi atau hasil yang memuaskan, perlu mengetahui bunyi-bunyi bahasa dan pemakaiannya. Tanpa menguasai ilmu bunyi tersebut, mustahil akan mendapatkan hasil yang baik.
Bunyi-bunyi bahasa dalam suatu ujaran dapat diidentifikasi dengan metode atau teknik yang biasa digunakan dalam penelitian bahasa. Cabang linguistik yang mempelajari, menelaah, mengkaji bunyi bahasa pada umumnya disebut fonologi. Fonologi secara garis besar dibagi menjadi dua bagian, fonetik dan fonemik. Dua istilah inilah yang akan dikaji lebih lanjut. Pembicaraan tentang morfologi dan sintaksis suatu bahasa juga tidak terhindar dari data yang menyangkut fonologinya. Dalam hal ini, fonologi adalah cabang ilmu bahasa yang membicarakan bunyi bahasa yang mampu membedakan makna suatu kata. Masalah yang pertama kali dihadapi oleh sesorang dalam mempelajari bahasa lisan, terutama bahasa asing dan bahasa daerah, ialah masalah ucapannya. Sebelum mempelajari makna berbagai kata dan tata bahasa yang akan dihadapinya, terlebih dahulu ia harus mengenali bunyi-bunyi yang digunakan di dalamnya. Banyak bahasa di Indonesia yang mengarah kepada kepunahan. Bahasa-bahasa yang terancam punah diartikan sebagai bahasa-bahasa yang lingkup pemakaiannya sekarang ini mengalami penurunan yang sangat drastis. Penurunan ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa pada kenyataannya kemampuan berbahasa penutur yang berusia di bawah 20 tahun sangat bervariasi, dari penutur yang sangat fasih dalam menggunakan bahasa mereka setiap hari sampai pada penutur dengan kemampuan bahasa secara pasif. Oleh karena itu pengkajian bahasa daerah perlu dilestarikan agar tidak mengalami kepunahan seiring dengan perkembangan zaman.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang kami angkat dalam makalah ini adalah bagaimana sistem fonologi dalam bahasa  bugis.

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan sistem fonologi dalam bahasa bugis.
1.4 Manfaat
Manfat dalam penulisan makalah ini adalah ;
1. Penulis dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang sistem fonologi bahasa bugis.
2. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang sistem fonologi bahasa bugis.
















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Fonologi
Secara garis besar fonologi adalah suatu sub disiplin dalam ilmu bahasa atau lnguistik yang membicarakan tentang bunyi bahasa. Secara etimologi fonologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu. Jadi fonologi adalah cabang dari linguistic yang menyelidiki ciri-ciri bahasa, cara terjadinya dan fungsinya dalam system kebahasaan secara keseluruhan. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibagi menjadi yaitu  Fonetik dan Fonemik. Fonem adalah kesatuan yang terkecil yang terjadi dari bunyi-ujaran yang dapat membedakan arti.
Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia. Fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai pembeda arti.
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.
a. Alat Ucap
Bunyi-ujaran dihasilkan oleh berbagai macam kombinasi dari alat-ucap yang terdapat dalam tubuh manusia. Ada tiga macam alat-ucap yang perlu untuk menghasilkan suatu bunyi-ujaran, yaitu:
1. Udara : yang dialirkan keluar dari paru-paru.
2. Artikulator : bagian dari alat-ucap yang dapat digerakkan atau digeserkan untuk menimbulkan suatu bunyi.
3. Titik artikulasi : ialah bagian dari alat-ucap yang menjadi tujuan sentuh dari artikulator.
Dalam menimbulkan bunyi-ujaran /k/ misalnya, dapat kita lihat kerja sama antara ketiga faktor tersebut dia atas. Mula-mula udara mengalir keluar dari paru-paru, sementara itu bagian belakang lidah bergerak ke atas serta merapat ke langit-langit lembut. Akibatnya udara terhalang. Dalam hal ini belakang lidah menjadi artikulatornya, karena belakang lidah merupakan alat-ucap yang bergerak atau digerakkan, sedangkan langit-langit lembut menjadi titik artikulasinya, karena dia tidak bergerak, dia menjadi tempat tujuan atau tempat sentuh belakang lidah.
Yang termasuk alat-ucap adalah: paru-paru (tempat asal aliran udara), tenggorokan, di ujung atas tenggorokan ( laring ) terdapat pita suara. Ruang di atas pita suara hingga ke perbatasan rongga hidung disebut faring . Alat-alat ucap yang terdapat dalam rongga mulut adalah: bibir ( labium ), gigi ( dens ), lengkung kaki gigi ( alveolum ), langit-langit keras ( palatum ), langit-langit lembut ( velum ), anak tekak ( uvula) , lidah, yang terbagi lagi atas beberapa bagian yaitu: ujung lidah ( apex ), lidah bagian depan, lidah bagian belakang dan akar lidah.
Di samping rongga-rongga laring, faring dan rongga mulut sebagaimana telah disebutkan di atas, rongga hidung juga memainkan peranan yang penting dalam menghasilkan bunyi.
b. Pita Suara
Di ujung atas laring terdapatlah dua buah pita yang elastis yang disebut pita suara . Letak pita suara itu horizontal. Antara kedua pita suara itu terdapat suatu celah yang disebut glotis . Dalam menghasilkan suatu bunyi, pita suara itu dapat mengambil empat macam sikap yang penting:
1. Antara kedua pita suara terdapat celah ( glotis ). Celah ini pada suatu saat terbuka lebar , serta udara yang mengalir keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan sehingga tidak terdengar geseran sedikitpun. Bunyi yang dihasilkan dengan posisi ini adalah: /h/.
2. Kebalikan dari posisi di atas adalah sikap di mana pita suara tertutup rapat . Udara yang keluar dari paru-paru ditahan oleh pita suara yang tertutup rapat terbentang tegang menutup laring. Bunyi yang dihasilkan dengan sikap ini adalah bunyi hamzah ( glotal stop ). Bunyi ini biasanya dilambangkan dengan /?/, atau dalam ejaan lama dipergunakan tanda (').
3. Posisi yang ketiga adalah bagian atas dari pita suara terbuka sedikit ; udara yang keluar dapat juga menggetarkan pita suara. Segala macam bunyi-ujaran lainnya terjadi dengan sikap pita suara ini. Bila udara yang keluar itu turut menggetarkan pita suara maka terjadilah bunyi-ujaran yang bersuara ; bila pita suara tidak turut digetarkan maka terjadilah bunyi-ujaran yang tak bersuara.
4. Sikap yang keempat adalah bagian bawah dari pita suara terbuka sedikit . Dalam sikap ini kekuatan udara itu hilang atau berkurang sehingga segala macam bunyi-ujaran yang dihasilkan dengan sikap III berkurang juga. Peristiwa ini terjadi ketika berbisik.
c. Vokal
Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan sedikit juga, kita mendapat bunyi-ujaran yang disebut vokal . jadi, Vokal adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan. Jenis dan macamnya vokal tidak tergantung dari kuat-lembutnya udara, tetapi tergantung dari beberapa hal berikut:
1. Posisi bibir.
Yaitu bentuk bibir pada waktu mengucapkan suatu bunyi. Bibir dapat mengambil posisi bundar atau rata.
     a. Bila bentuknya bundar terjadilah vokal bundar : o, u, a.
     b. Bila bentuknya rata terjadilah vokal tak bundar : i, e.
2. Tinggi-rendahnya lidah.
Lidah adalah bagian dari rongga mulut yang amat elastis. Jika ujung dan belakang lidah dinaikkan, terjadilah bunyi yang disebut vokal belakang, misalnya: u, o, dan a. Jika lidah rata, akan terjadi bunyi-ujaran yang disebut vokal pusat, yaitu e (pepet).
3. Maju-mundurnya lidah.
Yang menjadi ukuran maju mundurnya lidah adalah jarak yang terjadi antara lidah dan alveolum. Apabila lidah itu dekat ke alveolum, bunyi-ujaran yang terjadi disebut vokal atas, misalnya i dan u. Bila lidah diundurkan lagi, terjadilah bunyi yang disebut vokal tengah, misalnya e. Bila lidah diundurkan sejauh-jauhnya, terjadilah bunyi yang disebut vokal bawah, misalnya a
4. Diftong.
Sebelum membicarakan jenis ujaran lain yang disebut konsonan, perlu dibicarakan satu hal yang dalam Tatabahasa Tradisional disebut diftong. Menurut Tatabahasa Tradisional, diftong adalah dua vokal berturutan yang diucapkan dalam suatu kesatuan waktu¸ misalnya seperti yang terdapat dalam kata-kata ramai, pantai, pulau, dan sebagainya. Urutan vokal seperti dalam kata dinamai, ditandai, dll. tidak termasuk diftong, karena tiap-tiapnya diucapkan dalam kesatuan waktu yang berlainan.
Dalam tutur sehari-hari sering terjadi bahwa diftong itu dirubah menjadi satu bunyi tunggal (monoftong), misalnya: kata-kata pantai, ramai, pulau berubah menjadi pante, rame, pulo, dsb. Proses perubahan bunyi diftong menjadi monoftong dalam Tatabahasa Tradisional disebut monoftongisasi. Sebaliknya dapat terjadi bahwa kata-kata yang pada mulanya mengandung bunyi monoftong mengalami perubahan menjadi diftong, misalnya kata-kata sentosa dan anggota dirubah menjadi sentausa dan anggauta. Proses ini disebut diftongisasi.
Dalam Linguistik Modern pengertian diftong tidak digunakan lagi karena tidak sesuai dengan hakekat dari bunyi-bunyi tersebut. Bila kita secara tegas mencatat bunyi-bunyi tersebut dengan mempergunakan prinsip-prinsip Linguistik Modern, maka ada yang ada hanya urutan-urutan konsonan-vokal. Secara fonetis kata-kata tersebut di atas akan ditulis: /ramay/, /pantay/, /pulaw/, dan sebagainya.
d. Konsonan
Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan, maka terjadilah bunyi yang disebut konsonan . jadi, Konsonan adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan.
Halangan yang dijumpai udara itu dapat bersifat sebagian yaitu dengan menggeserkan atau mengadukkan arus udara itu.
Dengan memperhatikan bermacam-macam factor untuk menghasilkan konsonan, maka kita dapat membagi konsonan-konsonan:
1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya.
2. Berdasarkan macam halangan udara yang dijumpai udara yang mengalir keluar.
3. Berdasarkan turut-tidaknya pita suara bergetar.
4. Berdasarkan jalan yang dilalui udara ketika keluar dari rongga-rongga ujaran.
1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya, konsonan-konsonan dapat dibagi atas:
a. Konsonan bi-labial, bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan kedua belah bibir: /p/, /b/, /m/, dan /w/. Karena kedua belah bibir sama-sama bergerak, serta keduanya juga menjadi titik sentuh dari bibir yang lainnya, maka sekaligus mereka bertindak sebagai artikulator dan titik artikulasi.
b. Konsonan labio-dental, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan gigi atas sebagai titik artikulasi dan bibir bawah sebagai artikulatornya: /f/ dan /v/.
c. Konsonan apiko-interdental, adalah bunyi yang terjadi dengan ujung lidah yang bertindak sebagai artikulator dan daerah antar gigi sebagai titik artikulasinya: /t/ dan /n/.
d. Konsonan apiko-alveolar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah sebagai artikulator dan lengkung kaki gigi sebagai titik artikulasinya: /d/ dan /n/.
e. Konsonan palatal, adalah bunyi yang dihasilkan oleh bagian tengah lidah sebagai artikulator dan langit-langit keras sebagai titik artikulasinya: /c/, /j/, dan /ny/.
f. Konsonan velar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh belakang lidah sebagai artikulator dan langit-langit lembut sebagai titik artikulasinya: /k/, /g/, /ng/, dan /kh/.
g. Hamzah (glottal stop), adalah bunyi yang dihasilkan dengan posisi pita suara tertutup sama sekali, sehingga menghalangi udara yang keluar dari paru-paru. Celah antara kedua pita suara tertutup rapat.
h. Laringal, adalah bunyi yang terjadi karena pita suara terbuka lebar. Bunyi ini dimasukkan dalam konsonan karena udara yang keluar mengalami gesekan.
2. Berdasarkan halangan yang dijumpai udara ketika keluar dari paru-paru, konsonan dapat pula dibagi-bagi atas:
a. Konsonan hambat (stop), merupakan konsonan yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-paru sama sekali dihalangi: /p/, /b/, /k/, /t/, /d/, dll. Dalam pelaksanaannya, konsonan hambat dapat disudahi dengan suatu letusan; dalam hal ini konsonan hambat itu disebut konsonan peletus atau konsonan eksplosif, misalnya konsonan p dalam kata pukul, lapar. Atau konsonan hambat itu dapat dilaksanakan dengan tidak ada letusan; maka hambat itu bersifat implosif, misalnya /t/ dalam kata berat, parit, dll.
Dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa hambat eksplosif terdapat bila suatu konsonan hambat diikuti vokal, sedangkan konsonan hambat implosif terjadi bila konsonan hambat itu tidak diikuti vokal.
b. Frikatif (bunyi geser) , merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru digesekkan: /f/, /h/, dan /kh/.
c. Spiran, merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru mendapat halangan berupa pengadukan diiringi bunyi desis: /s/, /z/, /sy/.
d. Likuida, atau disebut juga lateral , merupakan bunyi yang dihasilkan dengan mengangkat lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan keluat melalui kedua sisi: /l/.
e. Getar atau trill, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah ke alveolum atau pangkal gigi, kemudian lidah itu menjauhi alveolum lagi, dan seterusnya terjadi berulang-ulang dengan cepat, sehingga udara yang keluar digetarkan. Bunyi ini, yang dihasilkan dengan ujung lidah sebagai artikulator disebut getar apikal . Di samping itu dalam Ilmu Bahasa dikenal pula semacam bunyi getar lain yang mempergunakan anak tekak sebagai artikulatornya, dan yang bertindak sebagai titik artikulasinya adalah belakang lidah. Konsonan getar macam ini disebut getar uvular . Getar apikal dilambangkan dengan /r/, sedangkan getar uvular secara fonetis dilambangkan dengan /R/.
3. Berdasarkan bergetar tidaknya pita suara, konsonan terbagi atas:
a. Konsonan bersuara, jika pita suara turut bergetar: /b/, /d/, /n/, /g/, /w/, dan sebagainya.
b. Konsonan tak bersuara, jika pita suara tidak bergetar: /p/, /t/, /c/, /k/, dan sebagainya.
4. Berdasarkan jalan yang diikuti arus udara ketika keluar dari rongga ujaran, konsonan terbagi atas:
a. Konsonan oral, jika udaranya keluar melalui rongga mulut: /p/, /b/, /k/, /d/, /w/ dan sebagainya.
b. Konsonan nasal, jika udaranya keluar melalui rongga hidung: /m/, /n/, /ny, /ng/.

2.2 Fonologi Bahasa Bugis dan contohnya
Indonesia terkenal dengan banyaknya bahasa daerah.ada bahasa batak,bahasa sunda,bahasa jawa dan banyak lagi.Bahasa bugis adalah salah satu bahasa yang diantara sekian banyak  bahasa daerah di indonesia.sebagai sebuah bahasa tentu memiliki satuan bahasa yang membedakanya dengan bahasa lainya. Perbedaan ini bisa saja mencakup perbedaan  unsur fonetik, fonologi,morfologi,sintaksis dan semantik.oleh perbedaan inilah masing-masing bahasa menjadi khas dan unik.
Bahasa bugis merupakan bahasa sehari-hari bagi masyarakat suku bugis baik yang masih berada di daerah asal maupun yang sudah merantau di daerah lain tetapi masih aktif berbahasa bugis.bahasa bugis masuk dalam rumpun bahasa austronesia  dituturkan di indonesia daerah sulawesi selatan dengan jumlah penutur empat juta (di unduh dari http://ms.wikipedia.org/wiki/Bugis pada tanggal 23 oktober 2010)
Fonologi adalah bunyi yang di hasilkan dalam bahasa tertentu yang di implementasikan dalam bentuk simfoni tertentu yang  merupakan struktur bunyi dalam suatu bahasa (rocca dan johnson.1990) . setiap bahasa mempunyai pola fonologi yang berbeda-beda satu sama lanya,dalam analisis bahasa kali ini saya terfokus pada analisis sistem fonem dalam bahasa bugis.
Secara garis besar fonologi adalah suatu sub-disiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yangèmembicarakan ‘ bunyi bahasa ‘ . Lebih sempit lagi , fonologi murni membicarakan tentang fungsi , perilaku serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik ( lass,1988:2 ).pembahasan berikut memaparkan sistem fonologi dalam bahasa bugis yaitu deretan vokal,diftong dan konsonannya.
Inventarisasi fonem-fonem bahasa bugis dapat di bedakan atas fonem fokal, diftong, dan konsonan (Sikki,19991: 21).Inventarisasi bahasa-bahasa bugis tersebut selanjutnya di bahas sebagai berikut.
1.Fonem Vokal
Perlu di ketahui bahwa semua fonem fokal bahasa bugis merupakan bunyi yang bersuara, yang berarti bahwa dalam proses pengucapanya selaput suara selalu bergetar.
Berdasarkan deskripsi, bahasa bugis memiliki enam buah fonem vokal,yang berwujud fonem tunggal, yaitu /i/,/ è /, / a /, / e/, / u /, / o/.

Keenam fonem fokal bahasa bugis itu dapat di klasifikasikan dalam bentuk diagram sebagai berikut.

Depan
Tengah Belakang
Tinggi I
u
Sedang e

Rendah è a
o

Keterangan:
1. Fonem vokal /i/ berkedudukan sebagai fonem fokal depan, tinggi,tak bundar, dan kedudukanya simetris dengan fonem /u/.
2. Fonem vokal/è/  berkedudukan sebagai  fonem vokal depan, rendah, tak bundar dan kedudukanya simetris dengan fonem vokal /a/ dan /o/.ñ
3. Fonem vokal /a/ berkedudukan sebagai fonem vokal tengah, rendah, bundar,dan kedudukanya simetris dengan fonem vokal /è/  dan /o/.
4. Fonem vokal /e/ berkedudukan sebagai fonem vokal tengah,sedang,tak bundar.
5. Fonem fokal /u/ berkedudukan sebagai fonem belakang,tinngi,bundar, dan kedudukanya simetris dengan fonem vokal /i/.Fonem vokal /o/ berkedudukan sebagai fonem vokal belakang, rendah,bundar,dan keduduknya simetris dengan vokal /i/.
Untuk memperjelas perbedaan fonem /e/ dengan /è/  di perlukan penjelasan sebagai berikut:
Huruf è merupakan lambang fonem /ᶓ / (è taling)
Huruf e merupakan lambang fonem /ә/ (e pepet).
Distribusi fonem vokal
Fonem awal tengah akhir
/a/ [awu] ‘abu’ [waè]’ air’ [siaga]’beberapa’
/i/ [iko]’engkau’ [wine]’benih’ [api]’api
/u/ [uleŋ]’bulan [pue]’bela (me) [tunu:]’bakar’
/e/ [eniŋ]’kening [areiŋ]’beri’ [ceddè]’sedikit’
/è/ [è:luŋ]’awan,]’ [kègi]’dimana’ [lisè]’pulang’
/o/ [olokolo]’binatang’ [boro]’bengkak’ [malopo]’besar’
Keterangan:
a. Semua fonem vokal dapat menduduki posisi awal,tengah, dan akhir.
b. Vokal yang di panjangkan atau di tebalkan/di tebalkan bunyinya hanya dapat menduduki posisi akhir.Misalnya:
[utu:] ‘tindis’ di tuliskan /utu/
[utu] ‘kutu’ dituliskan /utu/
[palu] ‘kacau’ dituliskan /palu/
[sappa:]’bujursangkar’ di tuliskan /sappa/
[sappa] ‘ mencari’ dituliskan /sappa/
c. Perubahan bunyi vokal pada sandi dalam, dituliskan menurut ucapanya.
Misalnya:
[si:ta]’bertemu’ dituliskan /sita/
[ri:ta]’dilihat’ di tuliskan /rita/
[na:la]’di ambil’ dituliskan /nala/
Pasangan Minimal fonem-fonem vokal bahasa bugis
Pasangan minimal bahasa bugis adalah:
/i/  : /e/ [isi]’gigi’ : [isè]’ satu’
/a/  : /i/ [ula]’ular’ : [uli]’kulit’
/o/ : /a/ [koè]’disini’ : [kaè] ‘gali’
/u/ : /i/ [ulu]’ kepala’ : [uli]’kulit’
/a/ : /e/ [mata]’ mata’ : [mate]’ mati’
/u/ : /e/ [tulu]’ tali’ : [telu]’tiga’
/u/ :  o/                                    [èlluŋ]’ awan’ : [èlloŋ]’ leher’
/o/: /u/ [tolu]’tiga’ : [tulu]’tali’
Fonem Diftong
Diftong merupakan paduan  dua bunyi vokal dengan ciri khusus, yaitu terdapat luncuran (glide) yang di bentuk dari satu posisi vokal ke posisi vokal lain dan di hasilkan dalam satu suku kata (Ramlan,1986:76).
Dalam bahasa bugids memiliki tiga fonem diftong seperti tabel berikut iini:

Tabel fonem diftong bahasa bugis
/ae/ [waè]’air’ : [kaè]’ gali’

[iyaè]’ ini’ : -
/eu/ [lèu]’baring’ : -
/au/ [bau]’cium’ : [auw] ‘debu’
[atau]’ kanan’ : [ma:pau]’kta’(ber)
[dauculliŋ]’ telinga’ : -
[tau] ‘orang’ : [bauwa]’perut’


Sebagaimana tampak pada contoh,berdasarkan distribusinya,fonem diftong pada bahasa bugis terdapat pada posisi penultima dan ultima.
2.Fonem konsonan
Konsonan adalah bunyi yang di hasilkan dengan menghambat aliran udara pada salah satu tempat di saluran suara diatas glotiss (Kridalaksana,2001: 118).
Bahasa bugis memiliki 19 (sembilan belas) fonem konsonan (sikki,1991:28). Seperti yang digambarkan pada tabel berikut:
FONEM KONSONAN BAHASA BUGIS
Konsonan Labial Alveolar Palatal Velar Glotal
                     ts
Hambat    

                     s p
T K
B D

                    ts
Frikatif      
                     s
h

S
Nasal m
N Ŋ
                     ts                                    
Prenasal  
          s mb
Nd Ŋg

Ny
Lateral
L
Getar
R
Semi vokal W
Y

Distribusi fonem-fonem Konsonan bahasa Bugis
Fonem Awal Tengah Akhir
/b/ [baru]’baru’ [sibawa]’dengan’ -
/c/ [cèla]’ garam’ []bicu]’ kecil’ -
/d/ [dauŋ] ‘ daun’ [me:du]’jatuh’ -
/g/ [goso] ‘ gosok’ [magai]’bagaimana -
/h/ [hapus]’hapus’ [bhale]’ikan’ -
/j/ [jo?ka]’berjalan’ [maja]’buruk -
/k/ [komagai]’bilamana’ [olokolo]’binatang’ -
/l/ [lisè]’daging’ [èlluŋ]’ awan’ -
/m/ [malopo]’besar’ [rumpu]’rumput’ -
/n/ [niga]’siapa’ [tindro]’tidur pohon
/p/ [polo]’potong’ [manippi]’tipis’ -
/r/ [rèmpek]’lempar’ [ure]’akar’ -
/s/ [sio]’ikat’ [aseŋ]’nama’ -
/t/ [te:toŋ]’berdiri’ [bi:toèŋ]’bintang’ -
/w/ [waè]’air’ [sibawa]’dengan’ -
/y/ - [iyaro]’itu’ -
/ŋ/ - [uŋa]’bunga’ [madekeŋ]’hitung’
/ny/ - [mañawa]’napas’ -
/?/ [?ulèŋ]’bulan’ [jo?ka]’berjalan’ [ure?]’akar’
Keterangan:
a) Bahasa bugis memiliki dua fonem yang dapat menduduki posisi awal,tengah dan akhir,yaitu: /n/ dan /ŋ/.
b) Fonem hambatan tak bersuara glotal /?/ merupakan alofon fonem /k/ maka dilambangkan dengan huruf /k/.
c) Bunyi luncuran /w/ dan /y/ tidak di  tuliskan sebagai bunyi pelancar.misalnya /iyak/ ditulis /iak/.
d) Huruf rangkap /ny/ dan /ng/ bila melambangkan fonem tebal/panjang di hematkan penulisanya.misalnya: [
[aññarang]’kuda’ ditulis /annyarang/
[teŋa]’tengah’ ditulis /tennga/.

Pasangan minimal fonem-fonem konsonan bahasa bugis
Berdasarkan 200 kosa kata swadesh, pasangan minimal fonem-fonem konsonan bahasa bugis sangat  sedikit di dapatkan. Seperti dilihat pada contoh berikut.
/r/ : /t/ [baru] ‘baru’ : [batu]’batu’
/n/ : /b/ [ana?]’anak’ : [aga]’apa’
/r/ : /b/ [rua]’dua’ : [buah]’buah’
/l/ : /k/ [bulu]’gunung’ : [buku]’ tulang’
/h/ : /l/ [pohoŋ]’pohon’ : [polo]’potong’
/w/ : /s/ [awu]’abu’ : [asu]’anjing
























BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
fonologi adalah cabang dari linguistic yang menyelidiki ciri-ciri bahasa, cara terjadinya dan fungsinya dalam system kebahasaan secara keseluruhan. Menurut hierarki satuan bunyi yang menjadi objek studinya, fonologi dibagi menjadi yaitu  Fonetik dan Fonemik. Fonem adalah kesatuan yang terkecil.
Dari segi kajian fonologi bahwa bahasa muna memiliki 6 buah fonem vokal yang terdiri atas fonem vokal panjang,fonem vokal pendek
/i/, /u/, /e/, /o/, /a/, dan /è/
Semua fonem vokal pendek dapat menduduki semua posisi,sedangkan vonem vokal panjang menduduki posisi tengah dan akhir kata.
Bahasa Muna memiliki 19 fonem konsonan yaitu:
/b/, /c/, /d/, /g/, /h/, /j/, /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /r/, /s/, /t/, /w/, /y/, /ŋ/, /ny/, /?/















REFERENSI

http://www.slideshare.net/juniato/sistem-fonologi-bahasa-bugis-bone-sfbbb-kelompok-jun-adral-yos-final.Di unduh pada tanggal 23 oktober 2010
Lass,Roger.1984.Fonologi.Newyork:CambridgeUniversityPress.























Lampiran
200 KOSA KATA SWADESH BAHASA BUGIS
No Gloss Bugis Fonetik
1 Abu Awu [awu]
2 Air Wae [wae]
3 Akar Ure [ure?]
4 Alir (me) Massalo [massalo]
5 Anak Anak [ana?]
6 Angin Angin [angiŋ]
7 Anjing Asu [asu]
8 Apa Aga [aga]
9 Api Api [api]
10 Apung  (me) Mawang [mawaŋ]
11 Asap Rumpu [rumpu]
12 Awan Ellung [elluŋ]
13 Ayah Ambo [ambo]
14 Bagaimana Magai [ma’gai]
15 Baik Macoa [macoa]
16 Bakar Tunu [tunu]
17 Balik Lisu [lisu]
18 Banyak Maega [mae’ga]
19 Baring Leu [leu?]
20 Baru Baru [baŕu]
21 Basah Marica [marica]
22 Batu Batu [batu]
23 Beberapa Siaga [siaga]
24 Bela (me) Pue [pue]
25 Benar Tongeng [tonĵeŋ]
26 Bengkak Boro [boro]
27 Benih Wine [wine]
28 Berat Matane [matane]
29 Berenang Nange [naŋe]
30 Beri Areing [ařeiŋ]
31 Berjalan Jokka [jo?ka]
32 Besar Malopo [malopo]
33 Bilamana Komagai [komagai]
34 Binatang Olokolo [olokolo]
35 Bintang Bittoeng [bi:toeŋ)
36 Buah Buah [bua]
37 Bulan Uleng [?ul€ŋ]
38 Bulu Bulu [bulu]
39 Bunga Unga [u’nga ]
40 Bunuh Buno [ buno]
41 Buruh Lelung [ leluŋ]
42 Buruk Maja [maia ]
43 Burung Manu-manu [manu-manu]
44 Busuk Makebong [ma’keboŋ]
45 Cacing Bitok [bito]
46 Cium Bau [ bau ]
47 Cuci Bisai [ bisai ]
48 Daging Lise [ lise ]
49 Dan Sibawa [ sibawa ]
50 Danau Empang [ em’paŋ ]
51 Darah Dara [ dařa ]
52 Datang Pole [ pole ]
53 Daun Daun [ dauŋ ]
54 Debu Auw [ auw ]
55 Dekat Macawe [ ma‘cawe ]
56 Dengan Sibawa [ sibawa ]
57 Dengar Marengkalinga [ maŕeŋkaliŋa ]
58 Didalam Rilaleng [ ŕilal
59 Dimana Kegi [ kegi ]
60 Disini Koe [ koe ]
61 Disitu Koro [ koŕo ]
62 Pada Iga [ iga ]
63 Dingin Makici [ makici? ]
64 Diri (ber) Tettong [ te?toŋ ]
65 Dorong Sorong [ soroŋ ]
66 Dua Dua [ dua ]
67 Duduk Tudang [ tudaŋ ]
68 Ekor Ikkok [ i?ko ]
69 Empat Appa [ appa? ]
70 Engkau Iko [ iko ]
71 Gali Kae [kaƐ]
72 Garam Cela [ ce?la ]
73 Garuk Kakkang [ ka?kaŋ ]
74 Gemuk, lemak Lunra [ lunŕa ]
75 Gigi Isi [ isi ]
76 Gigit Anoko [ ăno?ko]
77 Gosok Goso [ goso ]
78 Gunung Bulu [ bulu ]
79 Hantam Jaguru [ ja?guru ]
80 Hapus Hapus [ hapus ]
81 Hati Hati [ hati ]
82 Hidung Inge [ iŋge? ]
83 Hidup Tuo [ tuo ]
84 Hijau Kudara [ ku’dara ]
85 Hisap Ngiso [ ŋgiso ]
86 Hitam Bolong [ boloŋ ]
87 Hitung Madekeng [ made’keŋ ]
88 Hujan Bosi [ bosi ]
89 Hutan Kalle [ ka?le ]
90 Ia Iko [ iko ]
91 Ibu Indo [ ind?o ]
92 Ikan Bhale [ bhale ]
93 Ikat Sio [ sio ]
94 Ini Iyae [ iyae ]
95 Istri Baine [ ba’ine ]
96 Itu Iyaro [ iyaŕo ]
97 Jahit Jahi [ jai ]
98 Jalan (ber) Lalang [ lalaŋ ]
99 Jantung Jantung [ jantuŋ ]
100 Jatuh Meddu [ me?du ]
101 Jauh Mabela [ mabela ]
102 Kabut Elung [ e‘luŋ ]
103 Kaki Aje [ aje ]
104 Kalau - -
105 Kami, kita Iyami [ iyami? ]
106 Kamu Iko [ iko ]
107 Kanan Atau [ atau ]
108 Karena Karena [ karena ]
109 Kata (ber) Mappau [ ma‘pau ]
110 Kecil Bicu [ bicu ]
111 Kelahi (ber) Lari [ lari ]
112 Kepala Ulu [ ulu ]
113 Kering Marakko [ mara’ko ]
114 Kiri Mabio [ mabio ]
115 Kotor Marota [ marota ]
116 Kuku Kanuku [ kanuku ]
117 Kulit Uli [ uli ]
118 Kuning Maridi [ ma‘ridi ]
119 Kutu Utu [  utu ]
120 Lain Laing [ laiŋ ]
121 Langit Langi [ laŋi? ]
122 Laut Tassik [ tassi ? ]
123 Lebar Maleba [ male᾽ba]
124 Leher Ellong [  elloŋ ]
125 Lelaki Urane [ uŕane ]
126 Lempar Rempek [reʾmpek]
127 Licin Malengengo [ maleŋgengo ]
128 Lidah Lila [ lila ]
129 Lihat Makkita [ makkita ]
130 Lima Lima [ lima ]
131 Ludah Miccu [ micu ]
132 Lurus Malempu [ malempu ]
133 Lutut Uttu [ u?tu]
134 Main Macule [ macule ]
135 Makan Mandre [ manŕe ]
136 Malam Wenni [ wenni ]
137 Mata Mata [ mata ]
138 Matahari Mataaso [ mataaso  ]
139 Mati Mate [ mate ]
140 Merah Cela [ cela ]
141 Mereka Iko [ iko ]
142 Minum Minum [ minuŋ ]
143 Mulut Timu [ timu ]
144 Muntah Tallua [ tallua ]
145 Nama Aseng [ aseŋ ]
146 Napas Manyawa [ manyawa ]
147 Nyanyi Makellong [ makkeloŋ  ]
148 Orang Tau [ tau ]
149 Panas Mapella [ mapἐlla]
150 Panjang Malampe [malampe ]
151 Pasir Kessi [ kἐssi]
152 Pegang Aketening [ aketeniŋ ]
153 Pendek Pance [ pance ]
154 Peras Peca [ peca ]
155 Perempuan Makundrai [ makunŕai ]
156 Perut Bauwa [ bauwa ]
157 Pikir Pikir [ pi‘kir]
158 Pohon Pohon [poʾhon]
159 Potong Polo [polo ]
160 Punggung Bongke [ boŋke ]
161 Pusar Posi [ posi ]
162 Putih Mapute [ mapute ]
163 Rambut Gimmi [ gimi? ]
164 Rumput Aruu [ aru: ]
165 Satu Sedi [ Śedi]
166 Saya Idi [ idi ]
167 Sayap Panni [ panni ]
168 Sedikit Cedde [ cedde ]
169 Sempit Maperri [ maperri ]
170 Semua Manneng [ manneŋ ]
171 Siang Esso [ esso ]
172 Siapa Iga [ iga ]
173 Suami Lakkai [ lakkai ]
174 Sungai Sallo [ salo? ]
175 Tahu Isseng [ isseŋ ]
176 Tahun Tahun [ ta‘uŋ]
177 Tajam Mattareng [ ma?tareŋ ]
178 Takut Mitau [ mituă]
179 Tali Tulu [ tulu ? ]
180 Tanah Tana [ tana ]
181 Tangan Jari [ jaŕi ]
182 Tarik Getteng [ getteŋ ]
183 Tebal Mompe [ mompe ]
184 Telinga Daucculing [ dautculliŋ ]
185 Telur Tello [ te ? lo]
186 Terbang Luttu [ luttu? ]
187 Tertawa Micawa [ micawa ]
188 Tetek Susu [ susu ]
189 Tidak Degaga [ de’gaga ]
190 Tidur Tindro [ tinřo ]
191 Tiga Telu [ telu ]
192 Tikam(me) Mitoddo [ mito?do ]
193 Tipis Manippi [ mani?pi ]
194 Tiup Werung [ weruŋ ]
195 Tongkat Tekkeng [ te‘keŋ]
196 Tua Matoa [matoa ]
197 Tulang Buku [ buku ]
198 Tumpul Makundru [ makuŋ‘ru]
199 Ular Ula [ula ]
200 Usus Parru [ pa ? ru ]




















Tugas
BAHASA DAERAH
SISTEM FONOLOGI DALAM BAHASA BUGIS













Oleh:
1. Sitti jumaida (A1B3 08047)
2. Evi (A1B3 080    )
3. La Ode Ulul Azmi (A1B3 080   )
4. Dwi Murwani (A1B3 080   )


PROGRAM STUDI PGSD
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010

RFERENSI
http://ms.wikipedia.org/wiki/Bugis pada tanggal 23 oktober 2010
Lass,Roger.1984.Fonologi.Newyork:CambridgeUniversityPress.