SELAMAT DATANG

Senin, 04 Juni 2012

Nilai-nilai Dalam Cerpen

Nilai-Nilai dalam Cerpen Tujuan Pembelajaran Setelah pembelajaran berakhir, mahasiswa diharapkan dapat memahami nilai-nilai dalam cerpen. Mahasiswa mengerti nilai moral, sosial, budaya, psikologi, religi,dan didaktis dan menerapkannya dalam cerpen. Setiap karya sastra tentu memiliki nilai, memiliki ajen atau mutu. Ketika karya sastra diciptakan, apakah itu puisi, cerpen, novel, atau drama isinya dipersebahkan untuk dibaca, dihayati, dipahami, dikaji, ditafsirkan, dan dimaknai nilai yang ada di dalamnya. Mencari nilai, kemudian nilai itu ditafsirkan, itu disebut juga kegiatan berapresiasi. Memang begitu kenyataannya, untuk mencari nilai, menemukannya, lantas menafsirkannya nilai yang berada dalam karya sastra tersebut, kegiatan semacam itu disebut kegiatan berapresiasi. Nilai-nilai yang ditemukan dalam cerpen, di antaranya nilai intrinsik dan ekstrinsik. Nilai intrinsik lebih banyak dibahas, bahkan banyak dipergunakan untuk pendekatan objektif atau struktural dalam kegiatan masyarakat akademis sastra. Pendekatan ekstrinsik jarang dilirik oleh apresiator, karena harus memiliki disiplin ilmu lain sebagai parameternya. Kesulitan apresiator dalam menganalisis karya sastra dari unsur ekstrinsik yaitu dalam ketidakmadirian unsur ekstrinsik sebagai parameter nalisis, sebab walaupun menganalisis unsur budaya atau unsur sosial, tetap saja pisau intrinsik harus menjadi alat bedahnya. Tetapi, bagaimanapun juga nilai-nilai dalam cerpen harus dikupas, dikuliti agar terasa keutuhannya. Ketika menemukan nilai-nilai dalam cerpen tersebut, maka cerpen tersebut terasa bernilai, terasa mengndung sesuatu yang berharga. Jadi, nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik harus dikuliti, harus diapresiasi, agar cerita itu terasa berbobot dan bermanfaat. Nilai-nilai dalam Cerpen 1) Nilai Moral Seorang cerpenis atau pengarang cerpen, ketika menulis cerita, yang dipikirkan penulis selain bagaimana menuangkan ide-ide secara imajinatif ke dalam rangkaian cerita, juga memikirkan pesan-pesan moral. Karena menulis cerpen itu selain untuk mengibur, tentu saja memberi gambaran nilai-nilai kehidupan melalui tokoh-tokohnya, terutama nilai kemanuasiaan. Nilai-nilai kemanusian yang melekat melalui tokoh-tokohnya tentu saja nilai moral. Sebab moral itu merupakan adab, adat kebiasaan seseorang, dan prilaku baik atau buruk seseorang. Nilai moral biasanya dibentuk oleh etika, baik etika kolektif, maupun etika personal. Moral dalam cerita pendek bisa dilihat dari etika normatif dan deskriptif. Artinya, ketika dalam cerita pendek terlihat moral yang menyesatkan, atau membuat gelisah pembacanya karena tidak beretika, maka ranah etika normatif dan deskriptif harus dikedepankan. Etika normatif parameter penilain adalah norma-norma di masyarakat, baik adat atau kebiasaan masyarakat, atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat yang tidak tertulis. Sedangkan etika deskriptif yang menjadi penilaiannya adalah hukum-hukum yang tertulis, baik hukum agama melui firman Tuhan, dan hukum negara berupa peraturan-peraturan atau yuridis yang dibuat oleh pemerintah. 2) Nilai Sosial Cerpen merupakan gambaran kehidupan, tiruan kehidupan, atau mimesis kehidupan. Sebab itu, cerpen bisa disebut juga sebagai agen sosial. Sebagai agen sosial, tentu saja cerpen merupakan penyebar nilai-nilai sosial yang diketahui oleh pengarangnya sebagai bahan baku imajinasinya. Seorang pengarang ketika mengolah imajinasinya untuk bahan cerita, tentu saja bermula dari keadaan sosial yang dilihatnya, dirasakannya, dan diketahuinya. Mustahil seorang pengarang membuat ceritanya mengabaikan fenomena sosial. Sebab pengarang menemukan ide ceritanya, memupuk imajinasinya, bermula karena melihat kenyataan sejarah, gejolak sosial, keadaan sosial, komunitas sosial, elemen sosial, dan simbol-simbol sosial yang ada. Maka nilai-nilai yang timbul dalam cerpen dilihat dari unsur sosialnya adalah (1) tokoh-tokoh yang diciptakannya sebagai pelaku sosial; (2) keadaan ekonomi yang menggerakkan elemen sosial (simbol sosial); (3) konflik yang dibangun antartokoh sehingga cerita terasa utuh dan mimesis kehidupan; (4) idiologi tokoh-tokohnya; dan (5) sejarah perkembangan manusia yang dilihat digambarkan dalam cerita. 3) Nilai Budaya Cerita pendek bagian dari karya sastra, dan sebagai karya sastra tentu saja di dalamnya terdapat gambaran budaya, karena cerpen dibuat oleh makhluk berbudaya (manusia). Sebagai mahkluk berbudaya pengarang tahu benar tentang budaya di sekitanya, yang akan menjadi bumbu berharga pada karya sastra yang dibuatnya. Bumbu atau penyedap rasa berupa budaya itu bisa saja berupa mengenai hakikat hidup manusia, hakekat karya manusia, kedudukan manusia dalam ruang waktu, hubungan manusia dengan alamnya, dan hubungan manusia dengan manusia lagi. Pengarang ketika menulis karyanya, tentu saja akan berpijak pada sebuah peradaban yang dibangun dari wujud kebudayaan. Wujud kebudayaan menurut pedapat Koentjaraningrat (1994:5) terdiri dari tiga bagian: a. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan; b. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dan masyarakat; dan c. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Dalam cerpen pun terdapat nilai-nilai kebudayaan sebagai pembangun tema, karakter tokoh, latar, alur, dan amanat. Nilai-nilai budaya yang bisa ditemukan berupa; 1)nilai kepercayaan manusia pada Tuhannya; 2) nilai kebiasaan dalam bentuk kolektif atau ketradisian; 3) nilai kemanusiaan sebagai alat bermasyarakat; 4) sikap berkomunikasi dalam mengkomunikasikan peradaban; 5) nilai estetika sebagai pencipta berkesenian; 6) nilai penghidupan untuk mempertahakan kehidupan; 7) nilai beradaban dan alat yang diciptakannya; dan 8) nilai politis sebagai alat bernegara. 4) Nilai Psikologi Cerita pendek lahir dari angan-angan pengarangnya, imajinasi, hayalan, dan dari mimpi-mimpi pengarangnya. Karena pada dasarnya cerita pendek adalah karya rekaan, karya fiksional. Sebagai karya rekaan, tentu saja ide cerita itu bermain-main dahulu di benak pengarang; berhayal atau bermimpi, setelah melihat kenyataan, setelah merenungkan kehidupan, dan direalisasikan dalam cerita tersebut. Ketika cerita itu bergemuruh di hati pengarang, bermain-main di otaknya, maka yang berkerja adalah psikologi pengarang. Tokoh-tokoh yang diciptakan pengarang, bisa saja mewakili psikologi pengarangnya, atau gejolak batinnya setelah mengalami, mendengar, merasakan, atau melihat fenomena yang di temukan di sekitar kehidupannya. Tokoh-tokoh dalam cerita atau sudut pandang bisa saja mewakili gejolak jiwanya. Pengarang menciptakan orang dengan segala karakter dan kebiasaannya itu wakil dari gejolak batin serta olah imajinasi pengarangnya. Maka untuk lebih mengatahui unsur psikologi dalam cerita pendek harus mengetahui latar belakang kehidupan pengarangnya; baik pendidikannya, pekerjaannya, lingkungan hidupnya, dan karya-karya yang lainnya. Parameter menilai cerpen dari unsur psikologi, tentu saja tidak bisa terlepas dari unsur intrinsik, yaitu penokohan dan karakteristiknya; alur cerita, dan sudut pandangnya. Karena apresiator harus mampu menganalisis (1) perkembangan jiwa tokohnya, (2) falsafah hidup tokohnya, (3) ide-ide pengarang, (4) perkembangan cerita yang menggerakkan tokohnya, (5) obsesi pengarang melalui pemilihan tokoh, dan (6) konflik yang dibangun pengarang dalam cerita tersebut. 5) Nilai Religius Cerita pendek, begitu juga karya sastra lainnya, lahir dari pergolakan batin pengarangnya, tentu saja akan melahirkan nilai-nilai spiritual yang dalam. Nilai-nilai spiritual itu bisa saja berupa nilai vertikal, artinya ada kaitan antara pencerita dengan nilai agama sebagai bahan baku spiritual. Seorang pengarang merasa “eling” dengan apa yang akan diciptakannya, merasa berkewajiban untuk menyambungkan “kasih sayang Tuhan”, maka walau pengarang tidak menjadi pendakwah, tetapi ada rasa ketuhanan yang dalam dalam spirit menulisnya. Misalnya ketika ingin membuat cerita tentang penderitaan seorang petani yang tertimpa musibah banjir, spirit ketuhanan akan muncul juga. Walaupun kelak apakah simbol Tuhan atau agama itu eksplisit atau implisit, terserah pengarang. Hanya, nilai kepercayaan bahwa Tuhan itu ada tetap akan terasa, sebab cerita harus mewujudkan sipat ideal, bermakna, dan menjadi bahan perenungan bagi pembacanya. Tetapi perlu diingat, nilai religius dalam karya sastra tidak bisa dipisahkan dari unsur moral, didaktis, dan sosial. Sebab yang membentuk wujud kepercayaan pada Tuhan adalah adanya sosial atau interaksi antara manusia dengan manusia, yang akan membentuk kesatuan atau umat. Unsur moral akan membentuk pula bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan secara utuh (kesalehan). Dan unsur didaktis atau ajaran merupakan spirit terpenting dalam pembentukan ketaqwaan atau kepercayaan pada Tuhan. Jadi, dalam cerpen bisa diapresiasi spiritual keagamaan yang membentuk pengkarakteran tokohnya, alur cerita, latar, dan amanat yang dikembangkannya untu ditangkap oleh pembaca. 6) Nilai Didaktis Dalam cerita pendek bisa saja ditemukan nilai hitam dan putih, bisa juga menggambarkan nilai hitam, atau memperlihatkan nilai putih. Nilai hitam atau putih dalam karya sastra disebut juga nilai didaktis, nilai yang mengandung unsur kebaikan sebagai tuntunan disebut nilai putih, dan nilai keburukan dalam hidup digambarkan nilai hitam. Paling terasa hitam dan putihnya cerita ada dalam cerita rakyat. Biasanya, yang berprilaku hitam akan mendapat hukuman, yang berprilaku putih akan mendapat ganjaran. Contoh dalam cerita rakyat Bawang Merah dan Bawang Putih, terlihat sekali nilai didaktisnya. Seorang pengarang tentu saja akan memperhatikan nilai didaktis dalam karyanya, sebab nilai didaktis, yakni pendidikan dan pengajaran, dapat mengantarkan pembaca kepada suatu arah tertentu. Oleh sebab itu karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memperlihatkan tokoh-tokoh yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan sehingga pembaca dapat mengambilnya sebagai teladan. Keteladan yang terdapat dalam cerita bisa berupa (1) ajaran kebaikan terdapat dalam cerita, (2) moral yang digambarkan, (3) falsafah hidup tokoh-tokohnya, (4) ganjaran yang diterima tokoh-tokohnya, (5) isme-isme yang mempengaruhi atau menggerakkan tokohnya, (6) kekalahan nilai keburukan, (7) keadaan pendidikan tokohnya yang digambarkan, dan (8) amanat di akhir cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar