SELAMAT DATANG

Rabu, 13 Juni 2012

PENYUNTINGAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Tingkat kebutuhan kayu yang terus meningkat setiap tahunnya mendorong keberadaan hutan rakyat maupun hutan tanaman semakin penting peranannya. Hal ini disebabkan karena hutan produksi tidak mampu lagi menanggulangi kecukupan akan kebutuhan kayu nasional sehingga perlu dilakukan upaya pengembangan hutan rakyat yang optimal.
Hutan rakyat adalah konsep pengelolaan hutan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam menjaga dan memanfaatkan fungsi hutan sedangkan pemerintah berperan sebagai fasilitator yang mendukung upaya kelompok masyarakat dan memastikan berjalannya kepastian hak dan kewajiban dari seluruh pihak. Pengembangan hutan rakyat yang telah dipraktekan masyarakat diberbagai pelosok tanah air dianggap mampu memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial secara adil dan lestari. Di mana hutan rakyat berperan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi kayu, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan menjaga kelestarian lingkungan.
Keterlibatan petani dalam pengelolaan hutan rakyat merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan kesejahteraan dan merupakan bentuk nyata partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan. Mengingat banyaknya manfaat yang bisa kita peroleh dari pengembangan dan pembangunan hutan rakyat, maka sudah saatnya pengelolaan hutan rakyat mendapatkan perhatian yang lebih besar agar memperoleh hasil produksi yang optimal dengan memperhatikan kelola hutan, kelola lingkungan, dan kelola sosialnya.
Dalam pengembangan hutan rakyat dukungan kelembagaan dapat berperan sebagai salah satu langkah yang dapat mendukung keberhasilannya. Namun tidak semua masyarakat tergabung dalam kelembagaan tersebut. Beberapa dari mereka masih ada yang mau berdiri sendiri tanpa terlibat dalam kelembagaan tersebut atau tergabung dalam suatu kelompok tani. Pada pengelolaan hutan rakyat yang di lakukan masyarakat yang tidak tergabung dalam kelembagaan kelompok tani biasanya melakukan pengelolaan hutan rakyat dengan cara mereka sendiri. Sistem yang mereka gunakan biasanya juga masih terbilang sangat sederhana, padahal apabila ada keterlibatan pemerintah para petani dapat menambah ilmu pengetahuan mereka dalam bercocok tanam. Misalnya saja dalam hal pemilihan bibit sampai pada pemanenen, atau bahkan para petani mendapatkan bantuan berupa bibit gratis dari pemerintah.
Dukungan kelembagaan yang dapat diperoleh dimulai dari pemilihan jenis, pembibitan, teknik penanaman, teknik pemeliharaan (pemangkasan dan penjarangan), pemungutan hasil dan pemasaran. Pernyataan ini didukung oleh pendapat de Vries dalam Sajogya (1982) yang mengatakan bahwa petani yang miskin masih terbuka jalan asalkan dengan kekuatan berkelompok atau berorganisasi.
Salah satu kelompok tani yang terdapat di Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara ialah kelompok tani yang tergabung dalam Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL). Di mana koperasi ini merupakan suatu wadah yang dibentuk untuk membantu masyarakat tani hutan dalam mengembangkan hutan rakyat. KHJL merupakan sebuah lembaga koperasi yang khsusus membeli kayu legal milik masyarakat, yang dari segi ekonomi sangat menguntungkan karena KHJL memberikan jaminan harga kayu yang tinggi. Para petani yang berada dibawah binaan KHJL ini dibantu agar hasil dari hutan rakyat tersebut bernilai jual ekonomi yang tinggi. KHJL dibentuk pada tanggal 18 maret 2003, yang mana dari tahun ketahunnya jumlah keanggotaannya semakin meningkat. Yang awalnya cuma berjumlah 196 petani kini bertambah hingga 759 petani. Tertarik tidaknya masyarakat bergabung dalam KHJL ini tergantung pada tingkat keinginan masyarakat itu sendiri tanpa ada unsur paksaan.
Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan suatu penelitian mengenai efektivitas peranan petani dalam pengembangan hutan rakyat di Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasakan uraian yang dikemukakan pada latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan yaitu “Belum diketahui perbedaan proses kelola hutan, kelola lingkungan, dan kelola sosial pada petani dibawah binaan KHJL dan Non KHJL pada pengembangan hutan rakyat”.

1.3    Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.    Untuk mengetahui bagaimana kelola hutan pada petani dibawah binaan KHJL dan Non KHJL pada pengembangan hutan rakyat
2.    Untuk mengetahui bagaimana kelola lingkungan pada petani dibawah binaan KHJL dan Non KHJL pada pengembangan hutan rakyat
3.    Untuk mengetahui bagaimana kelola sosial pada petani dibawah binaan KHJL dan Non KHJL pada pengembangan hutan rakyat
Dari hasil tulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan :
1.    Sebagai sumber informasi bagi pemerintah daerah dan instansi terkait lainnya dalam mengambil kebijakan tentang pelestarian hutan rakyat.
2.    Menjadi informasi penting bagi peningkatan motivasi masyarakat dalam pengembangan hutan rakyat di bawah binaan KHJL dan Non KHJL di Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe Selatan.
3.    Sebagai bahan banding bagi tulisan lain yang berhubungan dengan peranan petani dalam pengembangan hutan rakyat di bawah binaan KHJL dan Non KHJL di Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe Selatan.








BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1    Deskripsi Teori
2.1.1    Konsep Efektivitas
Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan dengan memanfaatkan sarana dana prasarana yang tepat untuk mencapai tujuan. Menurut Handoko (2000), efektivitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk menentukan tujuan yang telah ditentukan. Menurut Komaruddin (1994), efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan dan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah diterapkan terlebih dahulu.
Efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang dan jasa kegiatan yang dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasil kegiatan semakin mendekati sasaran, berarti makin tinggi efektivitasnya (http://othenk.blogspot.com)
Menurut Steers yang dikutip Ardiansyah (2008) mengembangkan model suatu proses untuk menilai efektivitas organisasi yang mencakup tiga sudut pandang yaitu :
1.    Optimasi tujuan yang akan dicapai, yaitu bila beberapa bagian dari tujuan itu mendapat perhatian dan alokasi sumber dana dan daya yang lebih besar.
2.    Berkaitan dengan interaksi antara orgnisasi dengan keadaan sekeliling.
3.    Penekanan pada aspek perilaku yang lebih memusatkan perhatian pada pentingnya peranan perilaku manusia dalam proses pencapaian tujuan organisasi dalam efektivitas suatu organisasi.
Menurut Ardiansyah (2008) bahwa ada beberapa cara pendekatan terhadap efektivitas, salah satunya adalah pendekatan pencapaian tujuan yaitu : menyatakan bahwa fokus harus diletakkan pada apa yang dicapai, jangan pada cara-cara atau sarana-sarananya, asalkan cara dan sarana tersebut halal dan tidak melanggar hukum atau etik, maka tolak ukur pencapaian tujuan organisasi harus pada batas-batas minimum-maksimum dan jelas tujuannya itu dikehendaki oleh siapa. Serta tujuannya harus dirumuskan dengan jelas sehingga mudah dipahami oleh semua orang yang bersangkutan dengan pencapaiannya.
2.1.2    Pengertian Petani
Pengertian petani menurut Witrianto (2011) adalah orang yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian sebagai mata pencaharian utamanya. Secara garis besar terdapat tiga jenis petani, yaitu petani pemilik lahan, petani pemilik yang sekaligus juga menggarap lahan, dan buruh tani.
Berdasarkan undang-undang no. 16 tahun 2006 petani adalah perorangan warga Indonesia beserta keluarganya atau korporasi yang mengelola usaha dibidang pertanian, wanatani, minatani, agropasture, penangkaran satwa dan tumbuhan, di dalam dan sekitar hutan, yang meliputi usahahulu, usaha tani, agroindustri, pemasaran dan jasa penunjang.

2.2    Hutan Rakyat
Menurut statusnya (sesuai dengan UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999) hutan hanya dibagi kedalam dua kelompok besar, yaitu :
1.    Hutan Negara, yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
2.    Hutan Hak, yaitu hutan yang dibebani oleh hak atas tanah yang biasa disebut hutan rakyat.
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh diatas lahan milik rakyat, baik petani perorangan maupun secara bersama-sama. Sekarang istilah hutan milik tidak dijumpai lagi, diganti dengan hutan hak sebagai sisi yang lain dari hutan Negara. Pada dasarnya hutan rakyat adalah hutan yang dikelola dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya atau rakyat (Djuwadi, 2002).
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 26 Tahun 2005 tentang pedoman pemanfaatan Hutan hak atau yang lazim disebut hutan rakyat menyatakan bahwa hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang  telah dibebani hak atas tanah yang dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah, yang di atasnya didominasi oleh pepohonan dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh Bupati/Walikota.
Hutan rakyat menurut Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 adalah hutan  yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hutan adalah istilah popular yang diberikan oleh ahli kehutanan sejak dua atau tiga dasawarsa terakhir. Namun ini muncul sebagai sisi yang lain dari hutan negara yang tumbuh dan berkembang diatas lahan milik Negara didalam UUPK No. 5/67 dikenal dua istilah hutan yaitu hutan negara dan hutan milik, rupanya hutan rakyat diperuntukkan sebagai sinonim dari kata hutan milik tersebut. Sedikit berbeda di dalam UUPK 4/99 menyebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Puryono dan Rini (1998), mengemukakan bahwa hutan rakyat (community forest) adalah pembuatan tanaman kayu-kayuan di lahan kritis milik kelompok tani di luar kawasan hutan. Dalam kegiatan hutan rakyat, petani dapat mengembangkan sistem tumpangsari-wanatani dengan mengkombinasikan tanaman kayu-kayuan dengan tanaman semusim.
Hutan rakyat juga diartikan sebagai hutan yang pengelolaannya dilaksanakan oleh organisasi masyarakat baik pada lahan individu, komunal (bersama), lahan adat, maupun lahan yang dikuasai oleh negara. Hutan rakyat tersusun dari satuan ekosistem kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan usaha tani semusim, peternakan, barang-barang dan jasa rekreasi alam (Awang, 2001).
Sasaran lokasi pembuatan hutan rakyat adalah lahan milik rakyat, tanah adat atau tanah diluar kawasan hutan yang memiliki potensi untuk pengembangan hutan rakyat, dapat berupa lahan tegalan dan lahan pekarangan yang luasnya memenuhi syarat sebagai hutan rakyat dalam wilayah DAS (daerah Aliran Sungai) prioritas. Kegiatan pembuatan tanaman hutan rakyat pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan rancangan yang telah disahkan. Tahapan pelaksanaan kegiatan meliputi : persiapan lapangan, persiapan bibit, pembuatan tanaman, pemeliharaan tanaman dan pemanenan (Departemen Kehutanan, 2004)
Penanaman pohon di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, merupakan salah satu bentuk kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Terbatasnya kepemilikan tanah, menyebabkan peran hutan rakyat semakin tinggi bagi kesejahteraan masyarakat. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungan yang dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat.
Dudung Darsalam dan Hardjanto (2006) menjelaskan bahwa di beberapa daerah, Hutan rakyat telah berkembang sejak lama seperti hutan rakyat getah merah (Palaquim gutta) di Pulau Lingga, Propinsi Riau dibangun sejak Zaman kejayaan kerajaan Lingga (Purwanto, 1994). Pengelolaan hutan kemenyan di Kabupaten Toba-Samosir, Hutan Damar Mata Kucing di Lmpung Barat, dan hutan rakyat campuran yang di dominasi oleh tegakan “boangin” (Casuarina junghuniava) tidak ada laporan pasti kapan mulai dibangun tetapi menurut masyarakat pengelolaan hutan tersebut telah berkembang sejak nenek moyang. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan hutan rakyat sudah membudidaya di beberapa daerah.
Secara fisik hutan rakyat beragam dan berbeda di setiap daerah, baik cara memilih jenis yang dikembangkan maupun cara penataannya di lapangan. Suhardjito (2000), menyatakan bahwa keberadaan pola tanam (struktur dan komposisi jenis tanaman) hutan rakyat merupakan hasil kreasi budaya masyarakat. Umumnya pola tanam yang dikembangkan oleh petani dapat diklasifikasikan pada dua pola tanam, yaitu murni (monokultur) dan campuran.
1.    Hutan Rakyat Monokultur
Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen (monokultur). Jenis silvikultur pola tanam ini memiliki kelebihan yaitu lebih mudah dalam pembuatan, pengelolaan dan pengawasannya, namun kekurangannya yaitu kurang tahan terhadap serangan hama penyakit dan angin, juga kurang fleksibel karena tidak ada diversifikasi komoditi sehingga ketahanan ekonominya kurang dan penyebaran tenaga kerja bersifat musiman. Harjanto (2000), menyatakan bahwa upaya budidaya dilakukan lebih intensif pada hutan jenis ini karena pada sistem ini lahan secara sengaja diperuntukkan menjadi hutan rakyat.
2.    Hutan Rakyat Campuran
a.    Hutan Rakyat campuran (polyculture) dengan 2 – 5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan. Dari segi silvikultur cara ini lebih baik dikembangkan jenis monokultur, daya tahan terhadap hama penyakit dan angin lebih tinggi, perakaran lebih berlapis, dan dari segi ekonomi lebih fleksibel. Hasil yang diperoleh berkesinambungan dan tenaga kerja yang terserap lebih banyak, namun pelaksanaannya memerlukan perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan yang lebih baik dan terampil.
b.    Hutan Rakyat Campuran dengan Sistem Agroforestry/Wanatani. Pola ini merupakan kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan, dan lainnya secara terpadu. Pola ini berorientasi pada optimalisasi peanfaatan lahan secara rasional baik dari aspek ekonomi maupun ekologis. Penerapannya di lapangan dilakukan dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis.
Hutan rakyat campuran dengan sistem ini merupakan bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu. Penerapannya dilapangan dilakukan dengan cara pemanfaatan suatu ruang tumbuh baik vertikal maupun horizontal dalam bentuk penanaman campuran lebih dari satu jenis seperti kayu-kayuan (sengon, jati), buah-buahan (petai, nangka), tanaman industri (kopi, melinjo), tanaman pangan (singkong, jagung), hijauan makanan ternak (rumput gajah), tanaman obat-obatan (kapolaga, jahe), lebah madu dan lainnya. Kelebihannya yaitu mempunyai daya tahan yang kuat terhadap serangan hama, penyakit dan angin (Windawati, 2005).
Suharjito (2000), menyatakan bahwa keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikroorganisme, mineral tanah, air dan udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya. Kreasi budaya yang dikembangkan dalam interaksinya dengan hutan, berbeda antara kelompok masyarakat.
2.2.1    Prinsip-Prinsip Hutan Rakyat
Sistem hutan rakyat memiliki prinsip-prinsip sebagaimana yang dikemukakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (2004) sebagai berikut :
1.    Aktor utama pengelola adalah rakyat/masyarakat lokal/adat.
2.     Lembaga pengelola dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol secara langsung oleh rakyat bersangkutan.
3.    Memiliki wilayah yang jelas dan memiliki kepastian hukum yang mendukungnya.
4.    Interaksi antara masyarakat dengan lingkungannya bersifat langsung dan erat.
5.    Ekosistem menjadi bagian penting dari sistem kehidupan rakyat setempat..
6.    Pengetahuan lokal menempati posisi penting dan melandasi kebijaksanaan dan sistem pengelolaan hutan, disamping pengetahuan modern untuk memperkaya.
7.    Teknologi yang dipergunakan diutamakan teknologi lokal, merupakan teknologi yang telah memalui proses adaptasi dan berada dalam batas yang dikuasai oleh rakyat.
8.    Skala produksi tidak dibatasi, kecuali oleh prinsip kelestarian.
9.    Sistem ekonomi didasarkan atas kesejahteraan bersama.
10.    Keanekaragaman hayati mendasari berbagai bidangnya, dalam jenis dan genetis, pola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya, sistem sosial, sistem ekonomi dan lain sebagainya.
2.2.2    Pengelolaan Hutan Rakyat
Arief (2001) dalam Asrianto (2006) menyatakan, pengelolaan merupakan suatu usaha yang didalamnya meliputi beberapa aspek seperti perencanaan, organisasi pelaksanaan, implementasi monitoring dan evaluasi yang setiap fungsi saling berkaitan dan merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi. Pengelolaan hutan bertujuan untuk menghasilkan sesuatu yang dikelola
Pengelolaan hutan adalah pemakaian metode perusahaan dan metode tehnik kekuatan untuk melaksanakan kelestarian hutan. Kelestarian hutan adalah manajemen suatu pengelolaan yang bertujuan untuk mencapai hasil produksi terus-menerus, sehingga terjadi keseimbangan antara pertumbuhan dan pemungutan hasil dalam periode tertentu (Davis, 1996 dalam Asrianto, 2006).
Pengelolaan hutan yang baik (scientific) adalah pengelolaan hutan yang bisa menghasilkan barang dan jasa untuk kesejahteraan masyarakat (fungsi sosial) secara berkelanjutan (lestari). Masyarakat selalu dinamis, berkembang sesuai dengan peradaban zaman, agar hutan tetap lestari bisa memenuhi kebutuhan haruslah dikelola sesuai dengan dinamika masyarakatnya (Djuwadi, 2004).
Pada dasarnya pengelolaan hutan rakyat bertujuan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan dan berlangsung secara lestari. Untuk mencapai itu, kegiatannya hendaknya diawali dengan penanaman yang dipersiapkan secara matang dan benar. Demikian pula pemeliharaan dan pengamanan terhadap gangguan hama penyakit, dan manusia perlu memperhatikan saat pemungutan hasil, permintaan pasar perlu menjadi pertimbangan untuk menentukan cara pengelolaan hasil yang baik, menguntungkan dalam saluran pemasaran yang akan digunakan (Djuwadi, 2002).
Upaya pengembangan hutan rakyat hendaknya mengikuti pola yang benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Djuwadi (2002), mengemukakan bahwa dari semua informasi tentang risalah hutan rakyat dapat pula dibuat pola hutan rakyat menurut kesatuan yang disepakati sebelumnya. Pola hutan rakyat disini dapat dipandang seperti kelas hutan di dalam pengelolaan hutan jati oleh perhutani. Tujuan dari penentuan pola hutan rakyat adalah untuk mempermudah pengaturan atau manajemen yang dianjurkan oleh fasilitator kepada petani; disamping untuk mengarahkan supaya lebih produktif sesuai dengan kemampuan lingkungan.
Harjanto (2000) menjelaskan sistem pengelolaan hutan rakyat dimulai dengan kegiatan pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran hasil. Pola tanam hutan rakyat sangat menentukan dalam peningkatan pendapatan bagi petani pemilik lahan. Pola tanam monokultur akan berhasil jika dilakkan secara kemitraan dengan perusahaan industri yang memerlukan bahan baku kayu. Pola tanam campuran, terutama dengan sistem agroforestry/wanatani bermanfaat secara ganda, disamping meningkatkan pendapatan petani juga menjaga kelestarian lingkungan (ekologi) karena pola ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari segi aspek ekologi, ekonomi, maupun aspek sosial budidaya.
Sistem pengelolaan hutan rakyat juga tidak mengarah hanya pada kayu, namun lebih pada pengembangan pengelolaan hasil hutan bukan kayu sebagai produk utama dari sistem hutan rakyat. Walaupun penebangan pohon dilakukan, hal tersebut hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan komunitas. Peran pemerintah dalam pengelolaan hutan rakyat lebih pada pemberian dukungan (fasilitas), kemitraan, pembuatan kebijakan umum (prinsip-prinsip), dan pengakuan kawasan yang dikelola oleh masyarakat.
Dikenal tiga  pola hutan rakyat dalam pengembangan hutan rakyat, yaitu :
1.    Pola swadaya, yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyrakat di dorong agar mau dan mampu melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan.
2.    Pola subsidi, yaitu hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya, atau bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.
3.    Pola kemitraan (Kredit Usaja Hutan Rakyat), yaitu hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan dengan intensif permodalan berupa kredit kepada masyarakat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama ini adalah pihak perusahaan memerlukan bahan baku dan masyarakat membutuhkan bantuan modal kerja. Pola kemitraan dilakukan dengan memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana sesuai kesepakatan antara perusahaan dengan masyarakat (Rahmawaty, 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Awang dan Kawan-kawan di Wonosobo pada Tahun 2002 menunjukkan bahwa  pemerintah sebagai pembina dalam pengelolaan hutan rakyat. Bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan antara lain adalah pemberian bibit tanaman hutan rakyat kepada masyarakat, kegiatan penyuluhan melalui petugas penyuluh, pelatihan-pelatihan terkait dengan pengelolaan hutan rakyat, dan penguatan kelembagaan masyarakat dengan membentuk kelompok-kelompok tani. Pemerintah membantu masyarakat dalam menanggulangi lahan miring dengan memfasilitasi masyarakat untuk membangun teras-teras agar lahan tidak mengalami erosi. Beberapa desa di Wonosobo termotivasi untuk mengembangkan hutan rakyat karena adanya program penghijaun yang dilakukan oleh pemerintah dengan jenis tanaman sengon. Intervensi pemerintah yang terlalu jauh dalam pengelolaan hutan rakyat juga menimbulkan dampak yang kurang baik yaitu di Desa Pecekelan. KTH yang telah ada diubah oleh pemerintah menjadi sebuah koperasi yang ternyata kinerjanya tidak sebagus waktu masih dalam bentuk kelompok tani.
Prabowo (2000), menyatakan bahwa peran pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat sangat penting karena salah satu kendala yang dihadapi masyarakat dalam mengelola hutan rakyat adalah masalah pemasaran hasil hutan khususnya kayu hutan rakyat. Pemerintah mewajibkan semua kayu yang akan dipasarkan keluar desa harus seizin instansi terkait dalam hal ini Perum Perhutani. Izin ini dirasakan sangat menyulitkan masyarakat sehingga masyarakat menghendaki agar prosedur perijinan lebih disederhanakan dengan mendelegasikan wewenang ke Kecamatan atau jika memungkinkan dihilangkan. Para pemerintah selain sebagai pembuat regulasi juga sebagai pembina.
Menurut Djuwadi (2002), secara mendetail hutan rakyat mudah dikenal dengan ciri-cirinya sebagai berikut :
a.    Menghasilkan tidak hanya kayu tetapi jauh lebih luas meliputi bunga, buah, kulit, daun, rimpang, aroma, jamu-jamuan, rempah-rempah, bamboo, hijauan makanan ternak, dan banyak lagi.
b.    Kalau dimanfaatkan kayunya, maka dilakukan dengan tebang pilih, terubusan, dan amat jarang tebang habis.
c.    Dilakukan dengan permudaan buatan, alam, vegetatif, dan lain-lain, yang didak serempak di dalam satu areal.
d.    Luasnya relatif kecil (0,2 ha – 1,0 ha) tergantung dari kepemilikannya satu kelompok bias menjadi satu hamparan yang luasnya 20 ha atau lebih.
e.    Pola tanaman campuran dari berbagai jenis pohon dan tanaman pangan atau rumput, jarang yang monokultur.
f.    Pengelolaan hutan tergantung dari pemiliknya, umumnya “pohon-perpohon” amat jarang yang perluas tertentu menjadi satu kesatuan.
g.    Selain tujuan pemenuhan kebutuha individu pemiliknya juga berfungsi sosial secara terbatas sesuai dengan nilai budaya setempat.
h.    Perubahan dari suatu sistem ke sistem yang lain adalah lambat, terutama di luar nilai budaya atau kebiasaan masyarakat setempat.
i.    Hasil atau produk langsung dari hutan rakyat tidak selalu bersifat musiman, bisa bulanan, mingguan atau bahkan harian; setiap hari ada saja yang bisa dipetik atau dipanen.
Adapun ciri kawasan maupun budidaya hutan rakyat :
1.    Tidak merupakan kawasan yang kompak, tetapi terpencar diantara lahan-lahan untuk penggunaan lainnya.
2.    Bentuk tanaman tidak selalu murni berupa kayu-kayuan tetapi terpadu atau dikombinasikan dari berbagai tanaman misalnya tanaman perkebunan, rumput makanan ternak, dan tanaman pangan.
3.    Diusahakan terdiri dari tanaman yang cepat tumbuh dan cepat memberikan hasil bagi pemiliknya.

2.2.3    Strategi Pengembangan Hutan Rakyat
Pembangunan hutan rakyat saat ini masih banyak kendala yang dihadapi terutama oleh petani baik dari segi teknis maupun non teknis antara lain keterbatasan modal, sempitnya lahan, kurang tersedianya informasi baik jenis tanaman, pola hutan rakyat maupun pemasaran hasil. Hal ini menyebabkan keengganan petani dalam mengembangkan hutan rakyat, sehingga hutan rakyat belum dapat berkembang secara optimal dan lestari (Retna, 2001).
Pengembangan hutan rakyat dilakukan dengan beberapa strategi, yaitu :
1.    Menginventaris hutan rakyat yang telah ada untuk mengetahui sebaran hutan rakyat baik letak, luasan, jenis dan perkiraan potensi yang terkandung didalamnya dalam rangka perwilayahan jenis dan pengembangan selanjutnya.
2.    Menginventarisir sasaran pengembangan lokasi hutan rakyat baik lahan kritis yang terlantar, lahan kritis karena solum yang tipis, maupun lahan miring lainnya yang membahayakan lingkungan.
3.    Percontohan pengelolaan hutan rakyat menurut berbagai kondisi hutan rakyat yang ada sekarang menuju pengelolaan hutan rakyat yang produktif, lestari dan aman terhadap lingkungan
4.    Penyiapan sarana perangkat lunak baik yang menyangkut produk hukum, pedoman, petunjuk pelaksanaa dan petunjuk teknis dalam pelaksanan ditingkat daerah maupun bimbinga dari pusat.
5.    Meningkatkan hasil penelitian dan pengembangan hutan rakyat dalam bentuk metode, teknologi dan teknik pelaksanaan yang tepat bagi pengembangan hutan rakyat.
6.    Memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang terdidik dan terlatih
7.    Menggerakkan dan membangkitkan partisipasi masyarakat dan pengembangan dan pengelolaan hutan rakyat melaui pembentukan kelompok tani yang dinamis
8.    Penyuluhan kepada masyarakat baik melalui tokoh masyarakat, tokoh agama, kelompok tani, organisasi pemuda dan pelaku kegiatan hutan rakyat lainnya dalam rangka membentuk jaringan pembinaan.
9.    Menyamakan persepsi pengelolaan hutan rakyat para pejabat daerah terkait dalam rangka ikut serta menggalakkan partisipasi masyarakat.
10.    Mendorong terciptanya pasaran hasil hutan rakyat sehingga terjadi kemudahan bagi masyarakat dan kestabilan dalam pelaksanaanya.
11.    Memberikan insentif permodalan dengan bunga ringan melalui kredit usaha hutan rakyat (KUHR) untuk membangun unit usaha hutan rakyat.
Menurut Hindra (2006) jenis tanaman yang umumnya dikembangkan di hutan rakyat adalah jenis-jenis berdaur pendek (antara 5-8 tahun) seperti sengon, mahoni, jati dan lain-lain. Pola penanaman yang biasa digunakan dalam hutan rakyat adalah pola campuran dimana tanaman kayu-kayuan dicampur dengan tanaman multiple purpose tree species (MPTS) seperti rambutan, mangga, durian, petai, dan lain-lain ataupun tanaman semusim (palawija) dimaksudkan untuk penanaman jangka pendek dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup petani sambil menunggu dan memelihara tanaman berkayu yang umumnya dapat dipanen setelah 5 – 6 tahun.
Hasanuddin (1997), menyatakan bahwa pengembangan hutan rakyat harus diupayakan mengandung ciri-ciri spesifik yang menjadi karakter utama rakyat, antara lain : (1) pelaku utama hutan rakyat adalah masyarakat setempat (lokal), (2) adaya kejelasan wilayah/lokasi hutan rakyat,(3) adanya interaksi yang erat antara lingkungannya atau dengan kata lain ekosistem harus menjadi bagian penting dari sistem kehidupan masayarakat, (4) pengetahuan lokal menjadi dasar utama untuk pengembangan hutan rakyat, (5) adanya keanekaragaman hayati dalam pengelolaan lahan, (6) sistem ekonomi didasarkan pada kesejahteraan bersama dan keuntungan dibagi secara adil dan proporsional melalui kelembagaan yang jelas.
Pengembangan hutan rakyat merupakan salah satu model pengusahaan lahan milik masyarakat yang dapat menunjang keberlangsungan hidup dan kesejahteraan mereka, dan dalam banyak kasus sering berfungsi sebagai tabungan masyarakat. Tabungan tersebut akan menjadi basis untuk menopang kehidupan yang berkelanjutan bagi pemiliknya. Dengan demikian pemilik lahan akan sangat menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat, dengan pertimbangan berbagai persyaratan keberhasilan sebagai berikut :
a.    Tanaman hutan rakyat dapat dikatakan berhasil apabila seluruh tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik serta dipanen pada saat masak tebang.
b.    Hutan rakyat baru dapat memberikan kontribusi pendapatan kepada pemiliknya pada akhir daur sehingga pemiliknya harus mempunyai lahan lain atau sumber pendapatan lain untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari (Irawanti, 2004).
Pengembangan hutan rakyat diharapkan mampu memberikan manfaat dan keuntungan ekologi, ekonomi, serta sosial budaya. Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan harus di ikuti adanya peningkatan kelestarian ekologi dan sosial budaya. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan para petani diharapkan dapat meningkatkan kehidupan di pedesaan lebih produktif, mampu mempertahankan nilai-nilai budaya yang baik, adanya sistem  penguasaan dan tata guna lahan yang jelas, adanya peningkatan kesejahteraan petani. Hutan rakyat yang dikelola dengan memperlihatkan teknik-teknik silvikultur akan mendatangkan manfaat yang cukup besar dilihat dari aspek ekologis dan ekonomis. Manfaat ekologis hutan rakyat dilihat dari kemampuannya dalam mendukung lingkungan terutama dalam menahan erosi, mengurangi bahaya banjir, sebagai pengatur tata air, dan sebagainya. Manfaat ekonomis hutan rakyat diperoleh dari berbagai jenis tanaman yang diusahakan dan memiliki nilai ekonomis cukup tinggi sehingga berimplikasi pada meningkatnya pendapatan rumah tangga petani pengelola.
Pengembangan hutan rakyat dalam skala yang lebih luas sebagai salah satu asset nasional perlu memperhatikan berbagai karakteristik lokal yang sangat beragam di berbagai daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukan Suharjito (2000) bahwa keberadaan hutan rakyat di suatu daerah merupakan salah satu hasil kreasi budaya masyarakat setempat sehingga menghasilkan berbagai bentuk pengelolaan yang sangat variatif.

2.Kerangka Pikir
Pada umumnya, hutan rakyat di Kecamatan Laeya dikembangkan dengan cara menanam jati. Keterlibatan masyarakat sekitar kawasan hutan atau dengan kata lain petani-petani hutan dalam pengelolaan hutan dapat membantu dalam pengembangan hutan rakyat sehingga dapat menjamin kelestarian dan keberlangsungan hutan rakyat. Masyarakat yang membantu dalam mengembangkan hutan rakyat tersebut ada yang berasal dari kelompok-kelompok masyarakat tetapi ada pula yang berdiri sendiri. Dalam hal membantu pengembangan hutan rakyat masyarakat yang secara berkelompok merupakan masyarakat yang berada dibawah binaan KHJL sedangkan masyarakat yang berdiri sendiri merupakan masyarakat yang tidak tergabung dalam suatu kelompok tani. Disini dapat dilihat keefektifan petani dalam pengembangan hutan rakyat dengan memperhatikan beberapa aspek diantaranya identitas responden, kapasitas responden, dan efektivitas peranan dalam pengembangan hutan rakyat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta hutan lestari dan berkelanjutan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada skema berikut :

























   
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1    Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe Selatan. Sedangkan waktu pelaksanaannya dilakukan pada bulan Februari tahun 2012. Lokasi penelitian dilaksanakan di kawasan hutan lahan milik pada satu Kecamatan di dua Desa yaitu Desa Lambakara dan Desa Aoreo. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive dengan pertimbangan pada umumnya desa tersebut merupakan lokasi yang cukup potensial untuk menanam jati dengan jumlah anggota koperasi lebih banyak dibanding Desa-desa anggota Koperasi Hutan Jaya Lestari yang lain.

3.2    Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat tulis menulis, kamera dan kuisioner.

3.3    Populasi dan Teknik Penentuan Sampel
Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh petani yang tergabung dalam anggota KHJL (Koperasi Hutan Jaya Lestari) khususnya di Kecamatan Laeya didua Desa yang berjumlah 101 orang dan petani yang tidak tergabung dalam keanggotaan KHJL yang berjumlah 154 orang. Sehingga total populasi keseluruhannya berjumlah 255 orang.
Penentuan besarnya sampel ini sejalan dengan pendapat Arikunto (1995 :122), yang menyatakan jika jumlah populasi kurang dari 100 maka populasi keseluruhan dijadikan sebagai sampel, namun jika jumlah populasi lebih dari 100 orang, maka penarikan sampel dilakukan sebanyak 20 – 30 persen dari populasi tersebut. Jumlah sampel yang akan diambil sebanyak 52 orang. Jumlah masyarakat petani yang termasuk anggota KHJL 26 orang, sedangkan yang bukan anggota KHJL berjumlah 26 orang yang ditentukan secara sengaja atau purposive sampling.

3.4 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis dan sumber data yang diperlukan terdiri atas dua, yaitu data primer dan data sekunder.
3.4.1    Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui wawancara langsung dari responden di Desa Lambakara dan Desa Aoreo sesuai pedoman wawancara dengan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan.
3.4.2    Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi-instansi atau lembaga-lembaga terkait yang relevan dengan tujuan penelitian ini. Data tersebut meliputi data jumlah Petani KHJL dan Petani Non KHJL, data administrasi dan kependudukan Desa Lambakara dan Desa Aoreo. Selain itu data sekunder juga bisa diperoleh melalui studi literatur dan bahan-bahan bacaan lainnya yang juga relevan dengan tujuan penelitian. Adapun jenis data sekunder yang diperlukan yaitu keadaan umum hutan dan potensi alam ekosistem hutan di Desa Lambakara dan Aoreo.
Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :
1.    Teknik observasi, yaitu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap objek peneliti.
2.    Teknik wawancara, yaitu cara pengumpulan data dengan melakukan wawancara dengan responden serta pihak-pihak yang terkait dengan menggunakan kuisioner.
3.    Studi pustaka, yaitu cara pengumpulan data dengan cara mempelajari literatur, laporan, karya ilmiah dan hasil penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian.
3.5    Variabel Penelitian
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1.    Identitas responden yang meliputi : umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan anggota keluarga, dan alamat.
2.    Kapasitas responden yang meliputi : pengalaman berusaha tani, luas lahan, dan pengalaman mengikuti pelatihan.
3.    Efektivitas peranan petani dalam pengembangan hutan rakyat yang meliputi: kelola hutan (pembuatan persemaian, penanaman, pemeliharaan, pengukuran pohon, penghitungan jatah tebang tahunan, penebangan, penerapan tata usaha kayu rakyat, lacak balak, dan keselamatan kerja), kelola lingkungan (identifikasi flora dan fauna yang dilindungi, identifikasi penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), pengamatan kualitas dan debit air, pembuatan pupuk organik), kelola sosial (sistem administrasi pendaftaran anggota kelompok tani dan  legalitas lembaga pengelolaan hutan rakyat).

3.6    Analisis Data
Data yang diperoleh di tabulasi kemudian di hitung secara persentase, lalu dianalisis secara deskriptif kualitatif. Nilai persentase sebagai acuan untuk menjelaskan secara deskriptif masing-masing komponen dari ketiga variabel diatas.
Untuk mengetahui hubungan antara identitas responden, kapasitas responden dan keefektifan petani dalam pengembangan hutan rakyat di bawah binaan KHJL dan non KHJL dengan menggunakan tabulasi silang. Hal ini dimaksudkan untuk melihat ketertarikan antara tiga variabel yang diteliti terhadap kaitannya efektifitas peranan petani dalam pengembangan hutan rakyat.

3.7    Konsep Operasional dan Pengukurannya
Konsep operasional adalah mencakup pengertian-pengertian atau batasan-batasan yang digunakan untuk mendapatkan data dilapangan.
1.    Responden adalah petani yang menanam tanaman jati yang akan dijadikan sampel (jiwa).
2.    Umur responden adalah jenjang umur yang dihitung sejak masa dilahirkan sampai keadaan sekarang (tahun).
3.    Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti petani responden (tahun).
4.    Jumlah anggota keluarga adalah besarnya orang yang tinggal dalam keluarga responden yang kebutuhan hidupnya menjadi tanggungan kepala keluarga (jiwa).
5.    Pengalaman berusaha tani adalah lamanya petani responden selama mengelola hutan rakyat (tahun).
6.    Luas lahan adalah luas lahan yang dikelola petani responden untuk kegiatan pengembangan hutan rakyat (Ha).
7.    Efektivitas responden dalam penelitian ini adalah dorongan petani dalam menanam jati dihutan rakyat di bawah bimbingan KHJL dan Non KHJL.
a.    Kelola Hutan
a)    Persemaian merupakan bentuk lahan pembibitan yang diusahakan oleh petani dalam usaha pengembangan hutan rakyat.
b)    Penanaman merupakan cara petani responden melakukan penanaman dalam pengembangan hutan rakyat.
c)    Pemeliharaan merupakan cara petani responden memelihara tanaman yang dikembangkan dalam hutan rakyat.
d)    Pengukuran pohon merupakan cara petani hutan dalam melakukan pengukuran pohon pada pengembangan hutan rakyat
e)    Penghitungan jarak tebangan tahunan merupakan cara petani dalam menghitung jumlah tebangan setiap tahunnya.
f)    Penebangan merupakan volume kayu yang ditebang
g)    Penerapan tata usaha kayu rakyat merupakan pengurusan dokumen pemanfaatan hasil hutan rakyat.
h)    Lacak balak merupakan pemberian nomor pada kayu dan tunggaknya yang di tebang
i)    Keselamatan kerja merupakan jaminan yang diperoleh petani dalam pengelolaan hutan rakyat
b.    Kelola Lingkungan
a)    Identifikasi flora dan fauna yang dilindungi merupakan jenis-jenis hewan dan tumbuhan apa saja yang terdapat pada hutan rakyat tersebut.
b)    Identifikasi bahan berbahaya dan beracun (B3)  merupakan bahan-bahan apa saja yang digunakan oleh petani dalam usaha pengembangan hutan rakyat.
c)    Pengamatan Kualitas dan debit air merupakan keadaan tingkat kekeruhan air sungai dan jumlah debit air.
d)    Pembuatan pupuk organik merupakan penggunaan bahan-bahan alami sebagai bahan dasar pupuk organik
c.    Kelola Sosial
a)    Sistem administrasi pendaftaran anggota kelompok petani merupakan cara petani bergabung dalam suatu kelompok tani dalam pengelolaan hutan rakyat
b)    Legalitas lembaga pengelolaan hutan rakyat merupakan terdaftar tidaknya secara resmi suatu lembaga tersebut.
c)    Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat atau pada areal lokasi tertentu dengan luas lahan berkisar antara 0,75-5 Ha.
d)    Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) yaitu sebuah unit manajemen (kelembagaan) pengelolaan hutan rakyat yang khususnya membeli kayu legal milik masyarakat dan menerapkan program kayu bersertifikat Forest Stewarship Council (FSC) pada seluruh anggotanya dalam memberi dampak baik dari segi pasar maupun pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestarian kawasan hutan.
e)    Petani Non KHJL adalah seseorang yang melakukan aktivitas sehari-harinya dengan cara menanam jati pada hutan rakyat yang tidak dibawah bimbingan KHJL akan tetapi dengan pengetahuan dan pengalaman sendiri yang pernah di dapatkannya.
Tabel 1. Indikator dan Parameter dari Variabel Penelitian (Kadir, 2005)
No    Variabel    Indikator    Parameter
1.    Umur Responden    Usia responden saat dilakukan wawancara    •    Belum produktif (0-14 tahun)
•    Produktif (15-54 tahun)
•    Non produktif (>54 tahun)
2,     Tingkat Pendidikan    Jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti oleh responden        Tinggi (>12 thun)
    Sedang (6-12 thn)
    Rendah (< 6 thn)
3.    Pengalaman Mengelola Hutan Rakyat    Lamanya petani responden selama memanfaatkan hutan rakyat        Berpengalaman (>10 tahun)
    Cukup Berpengalaman (5-10 tahun)
    Kurang berpengalaman (<5 tahun)
4.    Luas Lahan    Luas lahan yang dikelola petani responden untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat        Luas (>2,5 hektar)
    Sedang (1-2,5 hektar)
    Sempit (<1 hektar)
5.    Jumlah Anggota Keluarga    Banyaknya anggota rumah tangga yang berada dalam satu unit pengelolaan        Keluarga besar (>6 jiwa)
    Keluarga sedang (4-6 jiwa)
    Keluarga kecil (1-3 jiwa)
6.    Persemaian    Ada tidaknya persemaian untuk usaha pengembangan hutan rakyat         Ada  (1)
    Tidak ada (2)
7.    Penanaman    Cara penanaman pada hutan rakyat        Teratur (1)
    Tidak teratur (2)
    Tanaman pagar (3)
8.    Pemeliharaan     Upaya yang dilakukan petani dalam usaha pengembangan hutan rakyat        Sering (1)
    Jarang (2)
    Tidak pernah (3)
9.    Pengkuran Pohon    Cara-cara petani dalam mengukur pohon dalam usaha pengembangan hutan rakyat        Diukur (1)
    Tidak diukur (2)
10.    Penghitungan jatah tebangan tahunan    Cara menghitung jumlah tebangan setiap tahunnya        Dilakukan (1)
    Tidak dilakukan (2)
11.     Pendekatan dalam menghitung jatah tebangan tahunan    Parameter dalam menetapkan jatah tebangan tahunan        Diameter batang (1)
    Volume batang (2)
12.    Daur tebang    Umur pohon yang ditebang        < 20 tahun (1)
    20-30 tahun (2)
    >30 tahun (3)
12.    Penebangan    Alasan melakukan penebangan        Tebang periodik (1)
    Tebang butuh (2)
13.    Penerapan tata usaha kayu rakyat    Pengurusan dokumen pemanfaatan hasil hutan rakyat        Sulit (1)
    Tidak sulit (2)
14.    Lacak balak    Cara pemberian nomor pada hasil tebangan        Ada (1)
    Tidak ada (2)
15.    Keselamatan kerja    Jaminan yang diperoleh petani dalam pengelolaan hutan rakyat        Ada (1)
    Tidak ada (2)
16.    Identifikasi flora dan fauna    Jenis-jenis flora dan fauna yang dilindungi yang terdapat pada hutan rakyat tersebut        Ada (1)
    Tidak ada (2)
17.    Identifikasi penggunaan B3    Jenis-jenis penggunaan B3 yang digunakan         Ada (1)
    Tidak ada (2)
18.     Kualitas dan debit air    Keadaan tingkat kekeruhan air sungan dan jumlah debit air        Baik (1)
    Buruk (2)
19.    Pupuk organik    Penggunaan bahan-bahan alami sebagai bahan dasar pupuk organic        Ada (1)
    Tidak ada (2)
20.    Sistem administrasi    Kelengkapan dalam melakukan pendaftaran dalam suatu kelompok tani        Ada (1)
    Tidak ada (2)
21.    Legalitas lembaga    Terdaftar atau tidaknya secara resmi suatu lembaga tersebut        Legal (1)
    Ilegal (2)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar